Oleh Maysramo
Ia yang bersangkur kemarahan gagah berdiri menghadang dan menentang. Ia menghardik para pendoa sebagai mahluk celaka yang harus dienyah secepatnya. Ini tanah kami jangan engkau cemari dengan doa-doamu.
Para pendoa beringsut dengan membawa tongkat dari bambu yang dibiarkan membentuk garis di tanah berdebu. Kami mengenalmu sedari kecil, mandi bersama di sungai yang sama dengan keriangan yang sama saat berlompatan dari dahan pohon yang sama. Namun kini saat dunia sudah jauh berubah, kami tapi lagi mengenalmu, terasing di dalam kebersamaan, sendiri dalam persaudaraan. Kami tak lagi mengenalmu sebagaimana dulu kami menghalang-halangi para tetua dengan rotannya menghukum kenakalan yang tercipta.
Lalu seseorang wanita dari jauh berteriak, “nasib negeri bagai telur di ujung tanduk untuk apa hanya berdiam diri, bergeraklah jangan hanya diam!”
Ia yang bersangkur kemarahan tertawa terbahak.
Para pendoa saling berpandangan.
Nasib yang mana? Negeri yang mana? Apakah nasib negeri ini yang diteriakannya – gelak tawa tak henti terdengar – para pendoa kian menyusut dalam kejauhan meninggalkan garis yang terus memanjang.
Ingatlah pada satu negeri yang diikat hanya dengan sebuah kata “demi”, sebagai jalan tengah mengakhiri perdebatan panas soal ketuhanan. Sebab Tuhan dijadikan jalan tengah, maka Tuhan pula yang dijajakan untuk melepas ketidakpuasan dan atas nama Tuhan dipakai menjaga kedamaian penuh takut curiga. Tuhan pun menjelma bagai api dalam sekam yang terus menebar hawa panas dalam perjalanan sejarahnya.
Tak terbilang beribu kasus ia yang bersangkur kemarahan berteriak, “Kami membela Tuhan kami”, “Kami hanya ingin menegakkan apa yang tuhan kami ajarkan” atau banyak kami lainnya berselimutkan Tuhan, hingga Tuhan yang begitu damai berubah menjadi Tuhan yang berangasan.
Keadaan memang sudah berubah, mimpi dan kenangan coba diwujudkan. Hari ini dan hari-hari berikutnya romantisme itu dijajakan bersangkur kemarahan dalam mencari pengakuan. Dan, pada pendoa memilih sunyi.