KALIMANTAN TODAY, SANGGAU – Wakil Ketua DPRD Sanggau Usman mendukung langkah kepolisian memproses hukum dua perusahaan yang terlibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Legislator Partai Demokrat itu berharap proses hukum PT. SISU dan PT. SAP berjalan transparan, adil dan konsekuen.
“Kita dukung sepanjang dua perusahaan tersebut benar-benar melanggar aturan,” tegas Usman kepada wartawan di ruang kerjanya, Selasa (17/9).
Disinggung penegakan hukum terhadap dua korporasi itu terkesan lambat ketimbang penegakkan hukum terhadap perseorangan? ia menyebut, itu ranahnya aparat penegak hukum.
“Memang berbeda masyarakat biasa dengan perusahaan. Kalau perusahaan ini kan banyak yang berkepentingan dan kajian-kajiannya itu lebih dalam. Pertama, kita harus melihat aturan, kemudian kita melihat juga kondisi lahan, kondisi masyarakatnya, dan mereka kan lebih luas, lebih besar,” ujar Usman.
Ia juga tidak sependapat jika peladang disebut sebagai menyebab dari kabut asap yang begitu mengkhawatirkan saat ini.
“Karena kita tahu, setiap Agustus, Juli, itu biasanya musim masyarakat kampung bercocok tanam atau berladang. Dan sejak dulu tidak ada persoalan. Yang paling penting pemerintah adalah bagaimana mencegah, bagaimana mengawasi. Makanya pemerintah membuat UU 32 tahun 2009 tentang PPLH, itu sudah diatur. Tidak boleh di atas dari 2 hektar untuk masyarakat adat dan harus dikasi batas,” tutur Usman.
BACA JUGA: Tegas! Pemkab Sanggau Usulkan Izin Empat Perusahaan Perkebunan Dicabut
Ia sepakat bahwa penyumbang kabut asap sebagian besar adalah korporasi. Namun begitu, terhadap korporasi itupun tidak bisa disamaratakan, salah semua. Perusahaan yang harus bertanggungjawab adalah perusahaan yang tidak mengelola perusahaannya dan itu harus berikan sanksi tegas.
“Orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang saya maksud adalah orang yang dengan sengaja membakar hutan atau lahan. Itu orang yang tidak bertanggungjawab. Kalau perusahaan yang lalai, artinya mereka sudah tidak peduli dengan perusahaan mereka, itu harus dicabut (izinnya). Itu kewenangan bupati untuk mencabutnya,” timpal Usman.
Ia juga mendukung langkah tegas pemerintah daerah yang mengusulkan pencabutan izin empat perusahaan perkebunan kelapa sawit, yaitu PT BEI A, PT KPI, PT GSP dan PT RAU.
“Jadi, usulan pencabutan izin empat perusahaan itu sudah benar. Karena memang perusahaannya tidak diurus, apalagi untuk mengawasi masyarakat atau orang yang tidak bertanggungjawab atas perusahaan itu membakar atau tidak membakar, itu harus kita cabut. Artinya mereka sudah tidak peduli lagi dengan perusahaan,” kata Usman.
Ia juga mendukung permintaan pemerintah daerah agar perusahaan merivisi HGU mereka.
“Kalau direvisi, disesuai dengan kondisi di lapangan. Itu sangat kita dukung, karena dulu ada yang tidak sesuai, lahan riil dengan lahan yang ada di atas kertas atau di peta. Ada Perpres Nomor 18 tahun 2018 bahwa bisa dikeluarkan. Katakanlah di situ ada hutan adat, ada perkampungan, bisa dikeluarkan dari HGU,” kata Usman.
Senada disampaikan Sekretaris Komisi II DPRD Sanggau Yeremias Marselinus. Legislator PDI Perjuangan ini juga mendukung penegakan hukum terhadap PT SISU dan PT SAP.
“Terhadap dua perusahaan yang tengah disidik, saya kira kalau ini benar-benar melakukan pembakaran hutan dan lahan, saya berharap kepada pemerintah daerah untuk mencabut (izin) dua perusahaan ini. Karena berarti mereka tidak melaksanakan tugas mereka sebagaimana menjaga lingkungan,” tegasnya.
Kocan, sapaan akrabnya menegaskan, tidak setuju jika peladang yang disalahkan terkait kabut asap ini.
Selain itu, Kocan meminta pemerintah pusat agar melihat potensi-potensi yang ada di wilayah Indonesia ini, sehingga masyarakat yang berladang bisa mengubah polanya.
“Dan perlu pendampingan dari pemerintah, seperti contoh di Sanggau ini banyak potensi sawah. Tapi setelah dilaksanakan pembuatan sawah, tahu-tahu masuk kawasan hutan, hutan lindung,” katanya.
Padahal, menurut Kocan, masyarakat di pemukiman atau di daerah kawasan lindung sudah lama tinggal di sana. (Ram)