MUSIM PANAS DAN HUJAN. Dari dulu begitu diajarkan. Itu di Indonesia, termasuk Kalbar. Kalau di Barat ada empat musim, musim semi, gugur, panas, dan dingin. Semua tahu itu. Tapi, banyak belum tahu, Kalbar justru memiliki tiga musim lho. Musim hujan, panas, dan asap.
“Tunggu dolok bang. Ape tadek. Mun tak salah dangar ade musim asap. Adeke diajarkan di sekolah ye bang?” tanya jurnalis jurnior si tukang kepo. Kali ini ngopi di Jalan Setia Budi.
“Istilah saye jak. Direk rasekan ndak asap sekarang. Ittok bukan kali tok jak, tapi tiap tahun. Mun musen panas, muncul musim asap.”
“Batol kate abang. Memang tiap taon kesah asap. Mun gaye, saye setuju bile Kalbar tambah satu musem age, musem asap.”
“Cerite kitte jak.”
Musim asap. Memang tidak ada tercatat di buku pengetahun di sekolah. Adanya musim panas dan hujan. Bagi daerah di Jawa maupun timur Indonesia, sangat pas dua musim itu. Tidak dengan Kalbar, Kalteng dan sebagian Sumatra. Musim tidak lagi hanya dua, melainkan tiga. Musim yang ketiga itu adalah musim asap.
Hampir setiap tahun Kalbar selalu bergelut dengan asap. Penyebab utamanya kebakaran lahan dan hutan (Karhutla). Asap selalu menghantui. Menjadi momok (nightmare). Berbagai cara sudah dilakukan menghentikan asap. Tetap saja asap itu selalu muncul. Jadilah ia, musim asap. Kalau sudah menjadi musim, siapa bisa menghilangkan atau menghentikannya. Sama dengan datangnya musim hujan. Siapa bisa mengubahnya menjadi musim panas. Atau, mengubahnya menjadi musim lain. Tidak bisa. Begitu juga bila musim asap tiba. Siapa bisa menghentikannya. Satu-satunya solusi, hanya satu, yakni turunnya hujan. Siapa pemegang kendali turunnya hujan? Anda menjawab Tuhan, boleh. “Ya, Tuhanlah yang menurunkan hujan,” kata ustaz. Kalau jawabannya, Tuhan, berarti sudah masuh ke ranah agama.
Musim asap sedang melanda. Gubernur Kalbar H Sutarmidji sudah mengeluarkan maklumat, meliburkan seluruh sekolah SLTA. Maklumat ini juga diikuti sejumlah bupati. Kalau demikian, tandanya asap sudah tahap membahayakan. Pemerintah daerah tak mau ambil risiko. Bila asap terus memburuk, bukan tidak mungkin melumpuhkan sektor transportasi, terutama pesawat terbang. Pasti banyak terdampak. Paling parah adalah kesehatan. ISPA pasti meningkat.
Terus, apa yang harus dilakukan bila sudah datang musim asap? Karhutla ada di mana-mana. Daerah paling parah di Kabupaten Ketapang dan Kubu Raya. Presiden Jokowi sudah instruksikan tentara dan polisi turun tangan. Bahkan, diancam pecat bagi Kapolda maupun Pangdam. Memang tentara dan polisi sudah turun. Helikopter pun dikerahkan untuk menjatuhkan bom air. Begitu juga Gubernur sudah mengeluarkan ultimatum bagi perusahaan perkebunan. Lahan yang luas harus dijaga agar tidak terbakar. Bila masih terbakar, perusahaan ditutup. Pejabat yang tidak siaga akan Karhutla, diancam pecat. Kepala KPH Kubu Raya korban pertamanya. Dipecat.
Cukupkah semua itu. Ternyata belum. Buktinya, asap malah semakin parah. Ada mengatakan, hotspot di Kalbar berkurang. Mestinya asap juga berkurang. Nyatanya, asap makin parah. Ada menyimpulkan, itu asap kiriman. Apakah ini benar asap kiriman, yang jelas Kalbar sedang dilanda asap.
Siapa yang harus kita salahkan? Jangan salahkan saya ya, hehehe. Saya tak punya lahan luas. Lalu, siapa dong? Apakah gubernur, bupati, pemilik perusahaan, pemilik kebun, petani, petugas pemadam kebakaran, manggala agni, kadis kehutanan, kepala kph, polisi, tentara, kepala desa, atau siapa lagi ya yang pantas disalahkan? Yang sudah pasti salah, orang yang membakar. Setuju kan. Orang yang membakar lahan dan hutan adalah aktor utama untuk disalahkan.
Apakah sudah ditangkap? Ada puluhan orang ditangkap. Bahkan, ada koorporasi atau pemilik perusahaan perkebunan juga ditetapkan tersangka. Mereka ada yang dipenjarakan. Mestinya ancaman penjara ini bisa menakutkan semua orang. Faktanya, berbuih-buih penegak hukum mengkampanyekan, “Jangan bakar lahan dan hutan!” tetap saja ada yang melakukannya. Mungkin di sinilah problemnya. Sangat sulit menyadarkan masyarakat secara menyuruh supaya jangan Karhutla. Masih ada pemahaman masyarakat bahwa membakar lahan itu, tanah menjadi subur. Dengan membakar juga biaya land clearing (pembersihan lahan) sangat-sangat murah. Cukup modal sepuntung korek api, bisa membersihkan lahan secara luas. Tanah menjadi subuh lagi. Pemahaman seperti ini masih berkembang.
Upaya pemerintah menghilangkan musim asap memang ada. Kalau dibilang tidak ada, salah juga. Itu ngolok namanya. Cuma, belum optimal. Pernah kita dengar pemerintah membuat sekat kanal di lahan gambut. Tujuannya agar gambut tetap berair. Ada juga kita dengar membuat embung atau penampung air. Cuma, tak tahu di mana embungnya. Kemudian, memomatorium lahan gambut. Jangan ada lagi eksploitasi lahan gambut. Faktanya, banyak lahan gambut menjadi lahan sawit. Kedengarannya sih sudah banyak upaya dilakukan pemerintah. Tapi, tetap saja musim asap tetap datang tanpa diundang.
Lantas bagaimana dong? Upaya untuk menghentikan musim asap, tetap harus dilakukan. Carilkah formulasi jitu untuk mengatasinya. Jangan tanya tanya saya seperti apa formulasinya, karena saya bukan ahli. Inilah bagian dari upaya. Bila uUpaya sudah dilakukan, berikutnya berdoa. Doa minta hujan. Sebab, hanya hujan bisa menghentikan musim asap. Mari kita terus berdoa agar hujan turun.*
Penulis Rosadi Jamani
Dosen UNU Kalimantan Barat