Jumat , 22 November 2024
Home / BENGKAYANG / Adegan “Menyayat” Tidak Boleh di Pertontonkan Depan Publik

Adegan “Menyayat” Tidak Boleh di Pertontonkan Depan Publik

A822D7EC-7B52-409F-A697-21E2A5AC36E7
KALIMANTAN TODAY, BENGKAYANG – Pemerhati Kebudayaan dan Pendidikan Kabupaten Bengkayang, Hendrikus Clement, mengaku prihatin atas adegan yang dipertunjukkan diranah publik, konon yang di anggap sebagai “seni budaya atau adat”. Menurutnya, adegan Menyayat baik tangan, perut, leher (badan) sebagai bentuk kekerasan. Namun atraksi tersebut justru kerap ditampilkan di setiap event-event. Entah itu perayaan Cap Go Meh, Karnaval, dan Parade-parade kebudayaan lainnya. Dalam dunia pendidikan pun tidak boleh, karena itu merupakan bagian dari adegan kekerasan.

Mantan Ketua DPRD pertama kabupaten Bengkayang ini meminta agar atraksi ‘menyayat’ dihentikan, terlebih acara tersebut dibawa ke ranah publik dan disaksikan oleh anak-anak kecil.

“Saya memperhatikan adegan-adegan yang dipertontonkan di ranah publik apalagi yang langsung di lihat oleh anak kecil. Adegan kekerasan, tontonan yang katanya “seni budaya atau adat” itu , walau pun adegan itu tidak keluar darah dan sebagainya, dengan menyayat tangan, kaki leher yang di tunjukkan pada publik itu mempengaruhi secara kejiwaan bagi anak-anak,” ujar Hendrikus Clement, Minggu (14/7).

Dalam hal bersamaan, sebenarnya anak terpapar dengan adegan kekerasan, baik verbal dan nonverbal. Sama halnya juga dengan kata-kata yang kurang bagus dan di pertontonkan bagi anak akan sangat berpengaruh.

“Saya prihatin sekarang ini, kecenderungan nya event-event budaya seperti dianggap biasa, dan dibolehkan nonton anak-anak. Padahal itu sebenarnya adegan kekerasan dan lain-lainnya tidak boleh diperlihatkan pada anak-anak,” ucap Bapak yang identik dengan topi model Flat Cap-nya.

“di televisi saja ada adegan kekerasan dan sejenisnya di sensor, mohon maaf– merokok saja diblur. Itu membuktikan bahwa adegan yang kurang bagus untuk di pertontonkan bagi anak-anak itu tidak boleh,” lanjut Hendrikus Clement.

Atas amatnya selama ini, adegan tersebut justru menjadi hal yang baik dan “bangga” ditampilkan. Ia berharap pada acara-acara kedepan tidak ada atraksi Menyayat.

“Menurut saya, kita sudahi itu. Kita seleksi adegan atau atraksi kesenian-kesenian yang akan di pertontonkan di publik, diatas panggung. Maka dari itu, peran Event Organizer (EO) dalam suatu kegiatan harus ikut ambil bagian. Terlibat dalam bagian menyeleksi atraksi atau adegan yang akan di sungguhkan ke ranah publik. Baik dalam panggung terbuka, Parade-paeade, dan perarakan-perarakan. Contoh, misalnya pegang senjata tidak lagi senjatanya (yang asli) . Tapi diganti dengan yang terbuat dari kayu, kalau untuk kesenian,” ujarnya.
“Kita bukan kembali pada masa lalu, tapi menatap masa depan,” bebernya.

Memang sebagian orang menganggap bahwa adegan itu tidak berbahaya, memang tidak. Tapi itu akan melekat pada otak anak. Apalagi anak yang dibawah lima tahun. Karena di parade-parade itu kata Clement banyak ditonton anak-anak.

“Menampilkan itu diranah publik, seolah-olah baik dan bagus. Padahal itu merusak pikiran anak kecil,” ujar Hendrikus yang prihatin.

Menurutnga, hal tersebut harus disudahi, kita refleksi, kita evaluasi. Sehingga kedepan jangan sampai hal itu dibungkus dengan: ini festival budaya, adat membolehkan tanpa seleksi. Membiarkan adegan itu muncul diranah publik.

“Itu pandangan saya sebagai orang yang suka memperhatikan kebudayaan, kesenian-kesenian. Pesan saya: Apapun yang mau kita tampilkan ke ranah publik harus selektif. Patokan kita pada nilai-nilai kemanusiaan, kehidupan, nilai keberadaban. Bukan di ekspose adegan kekerasan walaupun tidak serius. Tapi
Konten atraksi dapat mempengaruhi pikiran anak-anak,” tutupnya. (Titi)

Tentang Kalimantan Today

Cek Juga

Dinkes Akui Prevalensi Stunting di Sanggau Fluktuatif, Ini Penyebabnya

    KALIMANTANTODAY, SANGGAU. Pemda Sanggau terus berupaya  menekan dan mengatasi stunting. Hanya saja, hingga …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *