Jumat , 22 November 2024
Home / BENGKAYANG / Perempuan dalam Pengelolaan SDA di saat Pandemi

Perempuan dalam Pengelolaan SDA di saat Pandemi

KALIMANTAN TODAY, BENGKAYANG – Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) yang didukung oleh program Citradaya Nita 2021 mengandeng Komunitas Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK) gelar diskusi online dengan mengusung tema “Peran Perempuan dalam Pengelolaan SDA, serta Mitigasi di saat Pandemi”, Sabtu kemarin.

Dalam kesempatan tersebut, Direktur Lembaga Gemawan (Lembaga Pengembangan Masyarakat Swadaya dan Mandiri) Laili Khairnur, Komnas Perempuan Andy Yentriyani, serta ada puluhan Jurnalis Perempuan Khatulistiwa, aktivis, NGO di Kalbar yang ikut virtual diskusi.

Dalam kesempatan tersebut, Direktur Lembaga Gemawan, Laili Khairnur menjelaskan, bahwa perihal menyangkut perempuan maupun sumber daya alam, merupakan salah satu fokus kerja Gemawan. Dimana, kata dia, Gemawan hadir untuk memperkuat masyarakat lokal dan mendorong perubahan kebijakan dalam mencapai keadilan social dan keberlanjutan lingkungan.

“Termasuk mengenai isu keadilan gender sudah kita masukkan dalam visi kita. Sehingga dalam aktivtias apapun paritipsasi perempuan dan laik-laki itu kita usahakan setara,” kata Laili disela-sela diskusi.

Terkait kedua hal tersebut (perempuan dan SDA), Laili menjelaskan bahwa saat ini role model pengelolaan sumber daya alam yang banyak dipergunakan adalah dengan eksploitatif yang berorientasi pada ekonomi. Dimana dalam penerapannya, partisipasi tersebut hanya melibatkan segelintir orang, yang notabene menggunakan perspektif pria.

Maka dari itu, dia menekankan kedepannya diperlukannya penguatan dimensi kesetaraan gender dalam hal pengelolaan SDA. Hal itu diperlukan untuk memastikan peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumber daya, baik pria maupun wanita sama.

“Terutama untuk keikutsertaan atau partisipasi kelompok perempuan dalam pengelolaan SDA harus dikedepankan. Mulai dari tahap perencanaan, Implementasi dan Monev. Hal seperti ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa kelompok wanita terlibat dalam proses pengambilan keputusan,” tegasnya.

“Selain itu, apabila hal ini (penguatan kesetaraan gender) diterapkan, bisa memastikan manfaat skema pengelolaan SDA yang dapat dinikmati secara optimal oleh semua orang. Khususnya kelompok perempuan dan kelompok marginal lainnya,” sambungnya.

Disamping itu, dia juga mengasumsikan, setiap kaum hawa tentunya meyakini bahwa kerja dan upaya kedaulatan pangan sebenarnnya membantu dalam persoalan pandemi. Terlebih bagi perempuan yang hari-hari menghabiskan waktu untuk bertani, tentunya selama pandemi ini merasa aman. Karena menurutnya, mereka (perempuan bertani) bisa mengambil konsumsi dari situ.

Masalah pangan dunia dikatakan cukup parah karena memang menerapkan monokultur, rantai pasok yang panjang, aksesnya tidak merata, dan dilakukan dengan deforestasi. Salah satu program yang terlihat itu adalah program foodestate.

Kondisi tersebut bahkan sebelum maupun setelah pandemi berdampak ada kelaparan yang sudah cukup besar. Karena itulah dalam SDG, hal ini sudah menjadi isu. Sisi lainnya adalah malnutrisi, obesitas, karena menjadi sesuatu yang tidak sehat.

Lebih jauh, dia juga membahas menyangkut sistem pangan nasional yang seharusnya dikembalikan pada konsep keberagaman Nusantara (ragam sumber pangan dan jalan pangan). “Tidak mesti harus nasi, karena banyak sumber protein lainnya. Karena sesuatu yang monokultur itu tidak baik. Potensi krisis menjadi sangat besar, ini harus kita (perempuan) tangani,” pungkasnya.

Pengakuan dan penghormatan ragam jalan pangan menjadi kunci penting kedaulatan pangan. Hak masyarakat adat dan lokal terhadap pangan tidak bisa dipisahkan terhadap hak mereka terhadap lahan, teritori, sumber daya alam, dan kedaulatan diri.

“Memperbanyak inisiatif Pertanian ramah lingkungan , Agroforestry, Analaog Forestry berbasis rumah tangga. Konsolidasi praktik-praktik prosumsi kolektif dan berkelanjutan(green consumers/producers, penerapan agroekologi, Community Supported Agriculture/Gerakan Pangan Gotong-Royong, koperasi),”, tutupnya.

Kondisi Hutan di Kalimantan Barat

LUAS Kawasan Hutan Kalbar menurut Permenhut P.733/2014 seluas ± 8,4 juta Ha, atau sekitar 58% dari luas wilayah Provinsi Kalbar. Adapun potensi lahan gambut Kalbar cukup luas mencapai 1,72 juta Ha atau sekitar 11,8 persen dari luas wilayah Kalbar, yang berarti sangat terkait dengan cadangan karbon.

Tingkat deforestasi mencapai 600rb Ha/tahun pada periode Tahun 2000 – 2010 dan secara berangsur berkurang menjadi 100rb Ha/tahun pada sejak 2010 hingga saat ini. Data pemanfaatan kawasan hutan di Kalbar s.d Juni 2017, yakni 24 izin IUPHHK-HA seluas ± 1.074.140 Ha; 43 izin IUPHHK-HTI seluas ± 2.012.186 Ha; dan 17 izin Pinjam Pakai Kawasan seluas ± 40.055 Ha.

Laili menyatakan, realitas pegelolaan hutan dan lahan cenderung eksploitatif, atau dilakukan dalam skala besar. “Ini yang menjadi masalah,” ucapnya.
Kemudian, State Dominant (Hak Menguasai Negara). Hak menguasai negara itu menjadi sangat besar, bagaiaman sebuah wilayah ditetapkan dengan sebuah status oleh negara tanpa pelibatan masyarkat, padahal masyarakat sudah ada dalam kawasan tersebut. Walau sekarang sudah ada upaya untuk melibatkan masyarakat.

Pengelolaan Hutan juga Ambisius – Economic Oriented. Orientasi yang dibangun selama ini hanya ekonomi yang berujung pada eksploitasi.
“Pengelolaan yang tidak berkelanjutan, sehingga alam ini hanya dilhat sebagai objek, yang harus dikuras sehabis-habisnya, tanpa melihat relasi alam dengan manusia maupun relasi alam dengan alam sendiri,” ujarnya.

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriani menjelaskan dalam The Committee on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW), salah satu yang dibahas adalah perempuan dan sumber daya alam. Dan terkait pengelolaan sumber daya alam, saat ini Komnas Perempuan fokus pada isu kekerasan. Terutama dakam rangka menginventarisir, serta mendukung masalah yang dihadapi kaum perempuan.

Untuk kolompok yang marginal makin rumit, seperti kelompok perempuan. Kalau ada pendampingan khusus, maka dia akan mempersilahkan kelompok perempuan berbicara. mendahulukan yang tidak punya kesempatan berbicara semestinya dilakukan.

“Dalam UU, diatur partisipasi yang utuh dari masyarakat. namun secara pelaksaan banyak masalah. Kalau kita lihat dari berbagai laporan konflik SDA di Indonesia, diawali dengan upaya konsultasi yang partisipatif tidak terjadi. kalau pun ada itu dilakukan atas pasar formalitas,” terang Andy.

Dia juga menilai bahwa pendampingan terhadap berbagai kasus yang dihadapi kaum marjinal, khususnya perempuan makin kesini dirasa kian rumit. Hal tersebut dikatakan dia bukan atas dasar implementasi semata. Namun untuk Undang-undang (menyangkut perempuan) juga tumpang tindih. Akibatnya banyak hukum yang dilakukan terhadap perempuan rata-rata mendapat bekingan oleh oknum.

“Bisa dikatakan selalu ada kesempatan untuk melakukan eksploitasi terhadap perempuan,” katanya.

Andy juga menyampaikan temuan Komnas Perempuan melihat konflik sumber daya alam ini, pertama semakin keras ketika pandemi. Perempuan lebih mudah diputus pekerjaanya. Belum lagi Perempuan yang bergantung dengan pekerjaan itu sendiri.

“Kalau temuan di Komnas Perempuan, kita melihat konflik sumber daya alam ini, pertama semakin keras ketika pandemi. Dimana perempuan lebih mudah diputus pekerjaanya,” sambungnya.

Dia juga membeberkan, sejauh ini Komnas Perempuan juga kerap kali menangani laporan terkait konflik-konflik penggunaan lahan menjadi konflik komunla. Dimana perusahaan dengan warga kemudian merebak menjadi pertikaianantar warga, sehingga pertikaian menjadi semakin runcong.

“Belum lagi ini kalau dengan tambang, kebun, itu juga ada kelompok masyarakat yang memiliki akses kerja di sana, namun ada juga yang tidak punya akses. Ataupun yang tidak setuju ada kebun atau tambang itu. Sehingga ada tiga kelompok, dan ini gampang sekali diindahkan konfliknya, yang awalnya urusan tata kelola, lalu menjadi pertenangan antar masyarakat tadi,” terangnya.

“Dalam dua tahun terkahir ini paling banyak, dan kaum perempuan ini bukan lagi sebagai tameng. Dan dalam dua tahun terakhir pula menunjukkan aksi yang dilakukan perempuan menunjukkan kefrustasian tingkat tinggi, salah satunya dengan membuka baju. Banyak kefrustasi perempuan yang memperjuangkan SDA yang menjadi sumber penghasilan dia. Salah satunya konflik lahan di Jambi,” timpalnya.

Maka dari itu, dirinya berharap agar pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk bisa menjadi pihak yang terus membuka ruang dialog dan pencarian solusi yang didampingi oleh lembaga dan media. Advokasi tidak hanya level mikro tapi juga makronya. Isu kekerasan perempuan bukan hanya persoalan personal, dia merupakan lapisan persoalan yang hadir.

“Sebab isunya tidak sederhana, seperti teman-teman yang menolak sawit tetapi setiap hari menggunakan produk sawit, tanpa kita sadari adalah pencipta demand di pasar, dan kita berkontribusi dalam pengrusakan SDA,” tutupnya. (TT).

Tentang Kalimantan Today

Cek Juga

Desa ODF di Kabupaten Sanggau Bertambah Jadi 13, Tertinggi di Kembayan

  KALIMANTANTODAY, SANGGAU. Berlahan tapi pasti, jumlah desa Open Defecation Free (ODF) atau yang sudah …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *