KALIMANTAN TODAY, PONTIANAK – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menilai pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) merupakan ancaman paling serius dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 9 Desember 2020
“Gara-gara pandemi ini, Pilkada 2020 menjadi demokrasi yang banyak larangannya,” kata Alfitra Salamm, Anggota DKPP ketika menjadi narasumber Ngobrol Etika Penyelenggara Pemilu dengan Media (Ngetren Media), di Golden Tulip Hotel Pontianak, Minggu (29/11/2020) malam.
Baru kali ini, kata Alfitra, hampir semua tidak boleh dalam penyelenggaraan pesta demokrasi. “Tidak boleh menggelar dangdutan, tidak boleh kumpul lebih dari 50 orang, tidak boleh arak-arakan, tidak boleh berkerumun,” ungkapnya.
Alhasil, tambah dia, Pilkada 2020 menjadi sangat minimalis dibandingkan Pilkada-Pilkada sebelumnya. “Calon Kepala Daerah semestinya tidak banyak keluar uang,” kata Alfitra.
Namun yang menjadi problem, menurut Alfitra, apakah “Demokrasi Terlarang” ini menjadikan kualitasnya semakin bagus atau tidak. “Hal tersebut tentunya tergantung Calon Kepala Daerahnya,” tuturnya.
Menurut Alfitra, di masa pandemi Covid-19 ini memunculkan pertanyaan mendasar, sebetulnya masyarakat membutuhkan Pilkada, kesehatan, pekerjaan atau lainnya. “Jadi apa yang diharapkan masyarakat,” tegasnya.
Jawaban dari pertanyaan mendasar itu, lanjut dia, menjadikan peranan politik uang (money politic) di masa pandemi Covid-19 ini semakin subur. “Karena menjadi andalan Calon Kepala Daerah,” ucap Alfitra.
Money politic ini merupakan tantangan paling serius di setiap Pilkada dan semakin parah di saat pandemi Covid-19. “Bawaslu harus betul-betul mengawasinya,” ingat Alfitra.
Menggunaan uang untuk dipilih dalam Pilkada 2020 paling rentan pada masa tenang, yakni 6, 7 dan 8 Desember 2020. “Diharapkan Bawaslu memperkecil ruang gerak money politic, misalnya patroli dan lainnya,” pungkasnya.(dik)