KALIMANTAN TODAY, SANGGAU. Penuntutan dua kasus pidana yang ditangani Kejaksaan Negeri (Kejari) Sanggau resmi dihentikan pada Kamis (24/02/2022). Penghentian penuntutan tersebut didasarkan atas keadilan retoratif (Restorative Justice) sebagaimana Peraturan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020.
“Berdasarkan Peraturan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dibuat surat ketetapan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Ini merupakan instruksi dari pimpinan. Jadi di setiap Kejaksaan Negeri (Kejari), apabila perkara pidana ada potensi dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif maka segera dilaksanakan,” ujar Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau, Tengku Firdaus.
“Ada dua perkara yang kami lakukan restorative justice. Pertama perkara atas nama Juanda Eko (pelaku) yakni tindak pidana penganiayaan terhadap korban atas nama Gusti Arman, yang juga Raja Sanggau. Kedua, perkara atas nama Siot (petugas keamanan perusahaan) atas tindak pidana percobaan pencurian di PT. SJAL,” sambung dia.
Kajari menegaskan, baik pada kasus pertama maupun kedua, kemauan dari kedua belah pihak (korban dan pelaku) melakukan perdamaian (dilakukan secara tertulis) menjadi syarat mutlak dari keadilan restoratif dapat dilakukan. Selain itu, juga memperhatikan beberapa hal terkait lainnya yang mendukung dilakukannya penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif tersebut.
“Pada kasus yang pertama maupun kedua, kami berupaya melakukan komunikasi intens baik kepada korban maupun pihak keluarga pelaku. Ketika kedua belah pihak bersedia untuk melakukan perdamaian dan unsur-unsur lain (sesuai peraturan) dapat dipenuhi, dan mendapatkan persetujuan dari pimpinan (setelah melakukan ekspos perkara), maka pilihan penghentian penuntutan dapat dilaksanakan seperti yang terjadi hari ini,” katanya.
Kajari berharap, kasus-kasus tersebut tidak kembali terulang di masyarakat. Meski diakuinya tak mudah melaksanakan peraturannya, namun, potensi untuk melaksanakan peraturan tersebut tetap dapat dilakukan.
“Dengan catatan, upaya-upaya yang menyertainya telah dilakukan, syarat mutlak (kesepakatan perdamaian hitam di atas putih) telah didapatkan, serta aturan-aturan yang mengatur pelaksanaan keadilan restoratif tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum,” pungkasnya. (Ram)