JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana merevisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Revisi ini akan membahas sejumlah pokok hal, memuat mulai dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga tax amnesty jilid II. Dalam draf Rancangan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) tersebut, pemerintah berencana akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sejumlah bahan pokok (sembako) hingga pendidikan.
Mengacu Pasal 4A RUU KUP, sembako dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Sembako sebagai barang yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak sebelumnya tidak dikenakan PPN, seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 144 Tahun 2000 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017.
Pemerintah Jokowi juga ingin akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk kategori jasa. Di mana saat ini ada 11 kelompok jasa yang saat ini masih bebas dari PPN, salah satunya yaitu pendidikan.
Adapun saat ini, jasa pendidikan yang bebas PPN di antaranya yaitu pendidikan sekolah seperti PAUD, SD-SMA, perguruan tinggi dan pendidikan luar sekolah.
Menyebarnya draf RUU KUP atau rencana pemerintah menerapkan PPN di berbagai sektor dan jasa membuat masyarakat heboh. Bahkan, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyebut bahwa pemerintah seperti penjajah. Sebab, pemerintah juga berencana untuk kembali menggelar program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II, yang masuk dalam pembahasan Revisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) tersebut.
“Cara-cara memberlakukan kembali tax amnesty jilid II dan menaikkan PPN khususnya PPN sembako adalah cara-cara kolonialisme yang dilakukan oleh Menteri Keuangan,” kata Iqbal dalam sesi teleconference, Kamis (10/6).
“Ini adalah sifat penjajah. Orang kaya diberi relaksasi pajak, termasuk produsen mobil diberikan relaksasi PPnBM 0 persen, tapi rakyat untuk makan direncanakan dikenai pajak,” serunya.
Draf Belum Dibahas dan Bocor ke Masyarakat
Meski sudah membuat gaduh di masyarakat, draf RUU KUP ternyata belum diserahkan pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dibahas. Anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Eddy Susetyo mengaku hingga saat ini belum menerima draf tersebut dari pemerintah.
“Sampai saat ini kami belum menerima draf resmi dari pemerintah,” kata dia dalam Rapat Kerja Bersama dengan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, di DPR RI, Kamis (10/6).
Sebagai mitra kerja pemerintah, dia merasa dilangkahi dengan beredarnya draf RUU KUP tersebut. Bahkan dia menerima draf yang beredar tersebut dari salah satu pedagang pasar di Malang, Jawa Timur.
“Sebagai mitra kami terkagetkan ketika media bahkan saya dapat dari pedagang pasar di Malang, missed call saya berkali-kali dikiranya saya tidak mau menerima. Kemudian saya respons lagi rapat. Lalu mereka bertanya “masa DPR tidak tahu” ceritanya.
“Mereka tidak percaya, lalu bertanya apa kerjanya? Mereka mempertanyakan, padahal kami sudah berupaya bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mengawal,” lanjutnya.
Padahal, dalam panja pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pemerintah dan DPR sudah sepakat hal-hal yang menyangkut revisi UU KUP tidak dibahas dahulu sampai dengan draf tersebut berada di tangan DPR.
“Dalam hal ini, untuk membangun kemitraan lebih baik, kami minta klarifikasi, kenapa ini bisa muncul dan kemudian kami di dewan merasa terpojok. Karena kami sampaikan kita memang belum bahas ini,” jelasnya.
Sri Mulyani Minta Maaf
Menteri Keuangan, Sri Mulyani meminta maaf kepada Komisi XI DPR RI atas beredarnya draf RUU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) di masyarakat. Pemerintah sendiri kata Sri Mulyani tidak bermaksud untuk melangkahi DPR.
“Sekali lagi tentu saja saya meminta maaf karena pasti semua dari Komisi XI ditanya sebagai partnernya kami. Kenapa ada kebijakan seolah-olah sekarang itu sudah naik,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama dengan Komisi XI DPR RI, di Jakarta, Kamis (10/6).
Sri Mulyani mengaku siap membahas sekaligus menjelaskan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai revisi perpajakan. Revisi perpajakan sendiri masuk di dalam Rancangan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
“Nah ini yang ingin kita nanti akan dijelaskan pada saat kita membahas RUU KUP dengan komisi XI DPR,” tegasnya.
Pembahasan RUU KUP sendiri tergantung nanti dengan pimpinan DPR pada saat penutupan masa sidang Paripurna. Dan sesudahnya akan dibahas secara bersama-sama oleh Komisi XI DPR RI.
“Nanti kita bisa melihat secara keseluruhannya dan di situ kita bisa bahas mengenai apakah timing-nya harus sekarang? Apakah pondasinya harus seperti ini?,” jelasnya.
Menurutnya, pembahasan ini penting dan akan dilakukan secara panjang. Termasuk kelompok barang dan jasa mana yang akan dikenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
“Ini harus bersama-sama disebut prinsip gotong royong oleh semuanya. Siapa yang pantas untuk dipajaki itu semuanya untuk perlu kita bawakan dan kita akan persentasikan secara lengkap baik sektor pelaku ekonomi,” jelasnya.
Sementara terkait dengan penerapan pajaknya sendiri tidak juga langsung ditargetkan di 2022. Karena balik lagi, semuanya akan tergantung pembahasan dan kesepakatan dari DPR RI. “Apakah harus sekarang? Apakah harus enam bulan? Apakah harus tahun depan itu semuanya nanti ingin secara penuh dengan komisi XI,” jelasnya.
Dibahas Sebelum 16 Juli
Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah menyatakan, pembahasan revisi perpajakan akan segera dibahas bersama pemerintah dalam waktu dekat. Paling tidak pada masa sidang yang berakhir pada 16 Juli 2021 mendatang.
Revisi aturan mengenai perpajakan, di dalamnya memuat mulai dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga tax amnesty jilid II. Adapun revisi sejumlah aturan itu tertuang dalam revisi kelima Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
“Akan ada perkembangan pembahasan untuk RUU KUP yang akan bergulir. Insyaallah pada sidang kali ini, tentu di Komisi XI,” ujarnya dalam rapat panitia kerja (panja) asumsi dasar dan kebijakan fiskal dengan pemerintah, di DPR RI, Jakarta, Kamis (10/6).
Berdasarkan draf RUU KUP yang diterima merdeka.com, ada sejumlah aturan perpajakan yang akan dilakukan pemerintah. Mulai dari pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) minimum 1 persen pada perusahaan merugi, menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, hingga tax amnesty jilid II.
Untuk PPh minimum, perusahaan atau wajib pajak badan akan dikenakan PPh minimum jika memiliki PPh tidak melebihi 1 persen dari penghasilan bruto.
Selain itu, pemerintah juga akan mengenakan tarif PPh 35 persen bagi wajib pajak yang memiliki pendapatan kena pajak di atas Rp5 miliar dalam setahun. Untuk PPN, selain menaikkan tarif menjadi 12 persen, pemerintah juga akan menghapus sejumlah barang dan jasa yang selama ini bebas PPN.
Untuk barang, ada dua kelompok yang akan dihapus dari kategori bebas PPN. Keduanya yaitu hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk batu bara, dan barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak atau sembako.
Sementara untuk kelompok jasa, ada sebelas kelompok jasa yang akan dihapus dari kategori bebas PPN. Di antaranya jasa pendidikan sekolah seperti PAUD, SD-SMA, perguruan tinggi, dan pendidikan luar sekolah seperti kursus. (Sumber: merdeka.com)