Sabtu , 23 November 2024
Home / NEWS / Militer Myanmar Lenyapkan Anak-Anak Muda untuk Menggilas Gerakan Pro Demokrasi

Militer Myanmar Lenyapkan Anak-Anak Muda untuk Menggilas Gerakan Pro Demokrasi

Warga Myanmar di Thailand menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Kedutaan Besar Myanmar di Bangkok pasca kudeta militer Myanmar, pada 1 Februari 2021. REUTERS/Athit Perawongmetha

 

KALIMANTAN TODAY – Pasukan keamanan Myanmar bergerak dan lampu-lampu jalanan padam. Dari dalam rumah demi rumah, orang-orang mematikan lampu. Kegelapan membayangi blok tersebut.

Meringkuk di dalam rumahnya di kawasan Yangon, gadis 19 tahun bernama Shwe berani mengintip ke luar jendela di tengah malam yang gulita. Sebuah senter diarahkan padanya, dan ada suara seorang pria yang memerintahkan agar jangan mengintip.

Dua tembakan terdengar. Kemudian seorang pria menjerit: “TOLONG!”

Ketika truk militer akhirnya berlalu, Shwe dan keluarganya keluar melihat adik laki-lakinya yang berusia 15 tahun, khawatir dengan penculikan yang kerap dilakukan pasukan keamanan.

“Saya bisa merasakan darah saya berdesir hebat,” ujarnya, dilansir AP, Rabu (5/5).

“Saya punya perasaan dia mungkin diculik.”

Di seluruh negeri, pasukan keamanan Myanmar menangkap dan secara paksa melenyapkan ribuan orang, khususnya remaja laki-laki dan pria muda, untuk menghentikan pemberontakan menentang kudeta militer. Dalam sebagian besar kasus, keluarga korban penculikan tidak tahu di mana anggota keluarganya berada, menurut analisis AP terhadap lebih dari 3.500 penangkapan sejak Februari.

UNICEF, memperkirakan sekitar 1.000 kasus anak atau pemuda yang ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang, kebanyakan tanpa akses ke pengara atau keluarga mereka. Walaupun sulit mendapatkan data pasti, UNICEF mengatakan mayoritas adalah remaja laki-laki.

Ini merupakan teknik lama militer untuk mengundang ketakutan dan menggilas gerakan pro demokrasi. Anak-anak muda ini diculik dari rumah, tempat usaha, dan jalan-jalan pada malam hari dan terkadang siang hari.

Beberapa berakhir meregang nyawa. Banyak yang dipenjara dan terkadang disiksa. Lebih banyak lagi yang hilang.

“Kita benar-benar beralih ke situasi pelenyapan paksa secara massal,” jelas Matthew Smith, salah satu pendiri kelompok HAM Fortify Rights, yang mengumpulkan bukti para tahanan dibunuh di dalam penjara.

“Kami mendokumentasikan dan melihat ada penangkapan sewenang-wenang yang meluas dan sistematis,” ujarnya.

AP menyembunyikan nama lengkap Shwe, bersama dengan beberapa orang lainnya, untuk melindungi mereka dari pembalasan militer.

Toko onderdil mobil di lingkungan tempat tinggal Shwe menjadi tempat nongkrong anak-anak muda setempat. Pada 21 Maret malam, adiknya pergi ke tempat itu untuk nongkrong seperti biasanya.

Saat Shwe tiba di toko itu, dia melihat toko itu telah digeledah. Panik, dia dan ayahnya masuk ke dalam toko untuk mencari adiknya. Tapi dia hilang, dan lantai di toko itu penuh darah.

Sejak militer menggulingkan kekuasaan pada Februari, konflik di Myanmar menjadi sangat mematikan. Pasukan keamanan telah membunuh lebih dari 700 orang, termasuk bocah 9 tahun.

 

Saat ini, wajah-wajah mereka yang hilang membanjiri internet, dalam jumlah yang terus meningkat. Video online menunjukkan tentara dan polisi memukul dan menendang anak-anak muda saat mereka dimasukkan ke dalam mobil, bahkan dipaksa merangkak dan melompat seperti katak.

Baru-baru ini, foto anak muda yang ditangkap pasukan keamanan juga mulai beredar di dunia maya dan di Myawaddy TV milik militer, wajah mereka berdarah, dengan tanda jelas bahwa mereka dipukul dan disiksa. Keterbukaan militer menampilkan foto tersebut dan menyiksa orang di siang hari merupakan satu lagi tanda tujuan mereka adalah untuk intimidasi.

Sedikitnya 3.500 orang telah ditangkap sejak kudeta, lebih dari tiga perempat dari mereka adalah laki-laki, menurut analisis data yang dikumpulkan Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), yang memantau kematian dan penangkapan. Dari 419 pria yang usianya tercatat dalam basis data AAPP, hampir dua pertiga berusia di bawah 30 tahun, dan 78 orang merupakan remaja. Hampir 2.700 tahanan ditahan di lokasi yang tak diketahui, menurut juru bicara AAPP.

“Militer mencoba mengubah warga sipil, pekerja yang mogok, dan anak-anak menjadi musuh,” jelas Sekretaris Bersama AAPP, Ko Bo Kyi.

“Menurut mereka, jika mereka dapat membunuh anak laki-laki dan pemuda, maka mereka dapat membunuh revolusi.”

Setelah mendapat pertanyaan dari AP, militer yang dikenal dengan nama Tatmadaw, menggelar konferensi pers melalui Zoom, di mana selama konferensi pers itu mereka menyebut AAPP organisasi ilegal, menyebut datanya tidak akurat, dan membantah pasukan keamanan menargetkan pemuda.

“Pasukan keamanan tidak menangkap berdasarkan gender dan usia,” kata juru bicara militer, Kapten Aye Thazin Myint.

“Mereka hanya menangkap siapa pun yang gaduh, berunjuk rasa, memicu kerusuhan, atau tindakan apapun yang sejalan dengan itu.”

Beberapa dari mereka yang diculik pasukan keamanan sedang berunjuk rasa. Beberapa memiliki keterkaitan dengan parpol Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), rival militer, pimpinan Aung San Suu Kyi. Lainnya diculik tanpa alasan yang jelas. Mereka biasanya didakwa dengan Pasal 505 KUHP, yang sebagian mengkriminalisasi komentar “yang menyebabkan ketakutan” atau menyebarkan “berita palsu.”

Baik militer dan polisi terlibat dalam penangkapan dan penculikan, terkadang bekerja sama, menurut hasil wawancara dengan sejumlah tahanan dan keluarganya. Para pakar meyakini hal itu merupakan strategi yang terkoodinasi.

Manny Maung, peneliti Myanmar untuk Human Rights Watch, mengatakan satu perempuan yang dia wawancarai menceritakan dia dipukul dengan kejam oleh polisi sampai seseorang yang tampaknya seorang pejabat senior militer memerinhkan mereka agar berhenti.

“Mereka pastinya mengikuti perintah dari pejabat militer,” kata Maung.

Putus asa dengan informasi keberadaan orang yang mereka cintai, beberapa keluarga melakukan beberapa eksperimen: Mereka mengirim makanan ke penjara-penjara dan berharap makanan itu tidak dikembalikan, yang berarti keluarga mereka masih di dalam.

Aktivis HAM Myanmar, Wai Hnin Pwint Thon sangat mengenali taktik militer. Ayahnya, aktivis politik ternama Mya Aye, ditangkap selama pemberontakan 1988 menentang kekuasaan militer dan keluarga mereka menunggu berbulan-bulan sebelum mereka tahu ayahnya ternyata berada dalam penjara.

Dia ditangkap lagi pada hari pertama kudeta tahun ini. Selama dua bulan, militer tidak memberi informasi apapun kepada keluarga terkait keberadaan Mya Aye. Pada 1 April, keluarga mengetahui dia ditahaan di penjara Insein di Yangon.

“Saya tidak bisa membayangkan keluarga anak-anak muda yang berusia 19, 20, 21, di dalam penjara. Kami sangat khawatir dan kami terbiasa dengan situasi ini,” kata Wai Hnin.

“Saya masih berharap, tapi situasi semakin memburuk setiap hari.”

 

Mee (27), penduduk desa di Mandalay, melihat ketika anak-anak dengan sepeda motor ngebut melewati rumahnya menuju ke hutan. Tak lama setelah itu, tokoh masyarakat di desa itu tiba dengan memberi peringatan mengerikan: Semua anak laki-laki harus pergi dan cari tempat aman di mana pun. Tentara mungkin akan datang.

Hanya dua jam kemudian, kata Mee, tokoh masyarakat tersebut meminta para gadis juga bersembunyi.

Taktik menakut-nakuti militer terbukti sangat efektif. Di desa-desa dan kota-kota di seluruh negeri, penduduk secara teratur bergiliran jaga malam, memukul panci dan wajan, atau berteriak kepada tetangga jika terlihat tentara atau polisi.

“Saya lebih takut ditangkap daripada ditembak,” kata seorang pria 29 tahun yang ditangkap, dipukul, dan kemudian dibebaskan, berbicara tanpa menyebut nama.

“Saya punya kesempatan mati di tempat hanya dengan satu tembakan. Tapi ditangkap, saya takut mereka akan menyiksaku.”

Takut dengan hidupnya pada suatu sore di bulan Maret itu, Mee dan ratusan penduduk desa mengungsi ke lahan perkebunan nanas di sekitar bukit. Ketika dia tiba, dia melihat kerumunan orang dari desa lain juga bersembunyi di hutan.

Malam itu, kawanan nyamuk dan suara dari hutan menghantui mereka, para perempuan tinggal di dalam sebuah tenda bambu kecil sementara anak laki-laki berjaga bergiliran. Tidak ada yang tidur.

Selama puluhan tahun, Tatmadaw melakukan penangkapan sewenang-wenang, pelenyapan, kerja paksa, dan pelecehan lainnya untuk menghancurkan geraka  pro demokrasi dan menekan minoritas, termasuk persekusi kejam terhadap Muslim Rohingya pada 2017.

“Kadang-kadang komunitas diminta menyiapkan sekelompok anak-anak muda atas dasar ‘kerelaaan’; kadang mereka diculik,” kata mantan diplomat dan Komisi Penasihat di Negara Bagian Rakhine, Laetitia van den Assum, melalui surel.

Penangkapan sewenang-wenang berlanjut setiap hari di seluruh negeri. Hanya dua pekan sebelumnya, beberapa menit dari desa Mee, mahasiwa filsafat Ko Ko (24) berjalan ke rumahnya setelah mengikuti unjuk rasa dengan seorang kawan ketika dia mereka ditangkap. Orang tuanya mengetahui penangkapan itu melalui kawan dari kawan anaknya, bukan pihak berwenang.

Lebih dari sebulan kemudian, orang tuanya belum mendengar kabar anak laki-laki satu-satunya itu, kata seorang tetangganya, Han. Dia merupakan salah satu bagian kelompok yang tidak beruntung: sedikitnya 44 orang yang diculik dari kota itu belum dibebaskan.

Sementara banyak pria muda di desa Mee kembali ke rumah setelah dua malam bersembunyi di kebun nanas, beberapa tetap menginap di sana. Mee sejak itu pulang ke desanya.

Di mana pun dia melihat seorang tentara, dia lari. Tapi rasa takutnya berubah menjadi kemarahan.

“Sangat menyakitkan orang yang harusnya melindungi hidup kami, keamanan kami, mata pencaharian kami dan rumah kami adalah orang yang menangkap kami dan membunuh kami. Kami tak berdaya.”

 

Seorang mahasiwa, yang meminta namanya dirahasiakan, mengungsi di dalam sebuah rumah bersama dengan sekitar 100 lainnya setelah pasukan keamanan menyerbu unjuk rasa yang mereka hadiri. Aparat menembakkan gas air mata ke arah mereka, memaksa mereka melarikan diri.

Sekarang dia dan beberapa orang lainnya terpojok di kamar mandi di lantai dua sebuah rumah. Di lantai bawah, pasukan keamanan menggunakan katapel dan ujung senjata untuk mendobrak pintu.

Para prajurit mulai memukuli pemuda yang mereka temukan di dalam, dengan begitu ganas sampai beberapa kepala mereka bocor. Mereka merawat seorang pemuda.

Siswa itu menyaksikan kaca di atas pintu kamar mandi pecah.

“Mereka disini !” teriak para anggota pasukan keamanan, sembari menodongkan senjata.

Dia menundukkan kepalanya, karena siapa pun yang melihat tentara itu akan ditendang. Tentara itu tetap menendangnya, dua kali di pinggang, dan memukul kepalanya dua kali. Saat dia digiring menuruni tangga, dia melihat seorang tentara dengan pistol berdiri di hampir setiap langkah.

Dia dan sekitar 30 pemuda lainnya ditangkap dan dimasukkan ke dalam mobil van penjara. Baik militer maupun polisi ada di sana. Para prajurit mengancam akan membakar van dan dengan mengejek menawarkan jus kepada para tahanan sebelum melemparkannya ke arah mereka.

Ketika mereka tiba di penjara, anak-anak muda itu melihat 400 sampai 500 orang di sana. Keesokan harinya, dia didakwa dengan Pasal 505 (A) KUHP. Dia dan sekitar 50 lainnya menghabiskan sembilan hari berdesak-desakan di satu ruangan.

Hanya ada dua toilet. Mereka diizinkan keluar dari sel dua kali sehari untuk membersihkan diri. Air yang sama digunakan untuk mandi, minum, mencuci piring dan menggunakan toilet.

Ketika pemuda itu mengetahui dia dipindahkan ke penjara utama, dia ingin menangis. Beberapa hari sebelum penangkapannya, dia sempat melihat unggahan orang hilang di media sosial. Sekarang dia menyadari sebagian besar dari orang-orang itu mungkin ada di penjara seperti dia.

Pemuda itu punya alasan kuat untuk merasa takut.

Human Rights Watch menemukan beberapa orang yang ditahan di dalam penjara Insein menjadi sasaran pemukulan, dibuat tertekan dan dilakukan taktik interogasi yang berlebihan. Setelah itu, penjaga mulai membawa tahanan ke lokasi kedua dan menyiksa mereka, lalu mengembalikan mereka ke Insein.

Di Mandalay, keluarga pemuda itu sangat khawatir. Beberapa temannya menginformasikan dia telah ditangkap; pihak berwenang tidak pernah memanggil mereka.

Keluarganya mengirim makanan ke penjara untuknya. Tapi meski tidak dikembalikan, mereka tidak yakin dia ada di dalam. Mereka mendengar laporan tentang pengunjuk rasa yang disiksa. Kakak perempuannya terus menerus menangis.

Tiga belas hari setelah penangkapannya, pemuda itu diberi waktu sepuluh menit untuk berbicara dengan saudara perempuannya.

Seminggu kemudian, seorang pejabat memintanya untuk mengemasi barang-barangnya. Karena terkejut, dia menyadari bahwa dia telah dibebaskan.

Tidak ada waktu untuk berpamitan dengan teman-temannya. Pejabat itu mengambil video dan foto dirinya dan sekitar 20 orang lainnya, dan memberi tahu mereka untuk menandatangani pernyataan yang berjanji bahwa mereka tidak akan melanggar hukum lagi.

Dia tidak merasa beruntung – dia merasa tidak enak. Dia tidak mengerti mengapa dia dipilih untuk dibebaskan sementara teman-temannya masih terjebak di dalam.

“Tak seorang pun dari kami yang benar-benar merasa aman menjalani kehidupan normal kami sekarang. Bagi saya sekarang, saya tidak keberatan berjalan sendirian di luar bahkan di lingkungan saya,” ujarnya.

“Dan juga, saya merasa khawatir melihat orang tua dari teman-teman saya di lingkungan sekitar, karena saya keluar – dan anak-anak mereka tidak.”

 

Kembali ke Yangon, Shwest menatap genangan darah di lantai toko tempat adik laki-lakinya berada. Sepertinya pasukan keamanan dengan sepenuh hati mencoba untuk membersihkannya, tetapi genangan merah tetap ada.

Dia meyakinkan diri sendiri itu bukan darah adiknya.

Adik Shwe dan tiga pemuda lainnya dari toko itu diseret. Tetangga memberi tahu keluarga bahwa polisi dan tentara ada di sana. Tetangga mengatakan pasukan keamanan mungkin telah menargetkan anak laki-laki karena mereka melihat seseorang di dalam toko dengan katapel panah baja.

Pada jam 2 pagi, seorang petugas polisi menelepon untuk menginformasikan saudara laki-laki Shwe ada di rumah sakit militer dan ditembak di tangan. Mereka kemudian mengetahui pasukan keamanan telah menembak jari pemuda lain selama penggerebekan.

Dia mengatakan keluarganya memberi tahu polisi bahwa adiknya masih di bawah umur. Petugas mengatakan karena dia masih di bawah umur, dia mungkin tidak akan dituntut.

Sekitar jam 7 pagi, keluarga tersebut pergi ke rumah sakit untuk membawakannya makanan. Tapi permohonan mereka untuk bertemu ditolak. Shwe dan keluarganya diinformasikan adiknya akan dipindahkan ke rumah sakit penjara.

Kemudian, pada 27 Maret malam, muncul berita yang mengejutkan mereka: Kakaknya dan tiga orang lainnya didakwa memiliki senjata, dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara.

Mereka diizinkan mengobrol sebentar melalui telepon saat adiknya baru masuk rumah sakit, dan tidak ada kabar apa pun sejak saat itu. Adiknya meminta ibunya jangan bersedih dan dia dalam keadaan baik.

Dia tidak tahu apakah adiknya mengatakan yang sebenarnya. Dia mengkhawatirkan adiknya, anak pendiam yang suka bermain gim. Dia juga mengkhawatirkan ibunya, yang terus menangis, dan ayah mereka yang sangat hancur hatinya.

Untuk saat ini, mereka hanya bisa menunggu dan berharap: Bahwa dia tidak akan menyerah. Bahwa dia akan mendapatkan pengampunan. Bahwa orang-orang di Myanmar akan segera merasa aman kembali.

“Meskipun kami semua dalam kesulitan, kami mencoba untuk melihat sisi baiknya bahwa setidaknya kami tahu di mana dia,” katanya.

“Kami beruntung dia hanya diculik.” (Sumber: merdeka.com)

Tentang Kalimantan Today

Cek Juga

Desa ODF di Kabupaten Sanggau Bertambah Jadi 13, Tertinggi di Kembayan

  KALIMANTANTODAY, SANGGAU. Berlahan tapi pasti, jumlah desa Open Defecation Free (ODF) atau yang sudah …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *