KALIMANTAN TODAY – Penduduk di Madagaskar selatan terpaksa makan daun liar dan belalang untuk mencegah kelaparan setelah kekeringan berturut-turut dan badai pasir merusak panen, menyebabkan ratusan ribu orang di ambang kelaparan, menurut Program Pangan Dunia PBB (WFP).
Direktur senior operasi WFP global, Amer Daoudi, pada Jumat memperingatkan kehidupan anak-anak Malagasi dalam bahaya, terutama mereka yang berusia di bawah lima tahun yang tingkat malnutrisi telah mencapai “tingkat yang mengkhawatirkan”.
Berbicara melalui saluran video dari ibu kota Madagaskar, Antananarivo, Daoudi menyampaikan dalam pemaparan PBB di Jenewa, dia telah mengunjungi desa-desa di mana orang-orang harus bertahan hidup dengan memakan belalang, buah kaktus merah mentah, maupun daun-daunan liar.
“Kelaparan membayangi Madagaskar selatan karena masyarakat menyaksikan hampir hilangnya sumber makanan secara total yang telah menciptakan keadaan darurat nutrisi yang parah,” kata Daoudi, dikutip dari Al Jazeera, Minggu (2/5).
“Saya menyaksikan gambar anak-anak kelaparan yang menyedihkan, kurang gizi, dan tidak hanya anak-anak – para ibu, orang tua dan populasi desa-desa yang kami kunjungi,” lanjutnya.
“Mereka berada di ambang kelaparan; ini adalah gambar yang sudah lama tidak saya lihat di seluruh dunia. ”
Situasinya sangat menyedihkan
Madagaskar adalah salah satu negara termiskin di Afrika. Kurangnya layanan dasar – dari kesehatan dan pendidikan hingga kesempatan kerja – serta kemiskinan dan perubahan iklim telah menyebabkan banyak dari 26 juta penduduknya terkena bencana alam.
WFP mengatakan panen diperkirakan hampir 40 persen di bawah rata-rata lima tahun.
Malnutrisi pada balita meningkat hampir dua kali lipat menjadi 16 persen dari sembilan persen dalam empat bulan hingga Maret 2021 setelah lima tahun berturut-turut kekeringan, yang diperburuk tahun ini oleh badai pasir dan terlambatnya musim hujan. Tingkat 15 persen dianggap sebagai tingkat darurat dan beberapa wilayah melaporkan 27 persen – atau satu dari empat anak balita – menderita kekurangan gizi akut.
Setidaknya 1,35 juta orang membutuhkan bantuan pangan di wilayah tersebut, tetapi WFP hanya bisa menjangkau 750.000 karena kendala keuangan. WFP meminta USD 75 juta untuk menutupi kebutuhan darurat hingga September.
“Kami membutuhkan sumber daya; kita perlu mengubah sumber daya menjadi makanan,” jelas Shelley Thakral, juru bicara WFP kepada Al Jazeera.
“Kami telah melihat gambar tulang rusuk anak kecil yang menonjol dari kulit ke tulang – anak-anak yang, jika Anda melihatnya, Anda akan mengira bahwa mereka mungkin berusia dua, tiga tahun, dan mungkin bukan 10 tahun. Benar-benar mengkhawatirkan,” lanjutnya.
“Mereka mencari makan, makan apa saja yang bisa mereka temukan,” tambahnya.
“Situasinya sangat menyedihkan.”
[Sumber: merdeka.com]