KALIMANTAN TODAY, PONTIANAK – Kendati Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI tidak memasukkan kratom sebagai Narkoba Golongan I, Badan Narkotika Nasional (BNN) tetap melarang tanaman dengan nama latin mitragyna speciosa tersebut.
“Itu hak dari BNN dan itu masih dalam lingkup kerja mereka,” kata kata Harry Tri Yoga, Wakil Ketua Kelompok Pengelola Hasil Alam Borneo (Komphar) kepada kalimantantoday.com, Sabtu (14/11/2020).
Yoga menilai, sepanjang larangan BNN itu tidak dituangkan dalam suatu peraturan, tentunya tidak menjadi persoalan. “Kita sebagai pengusaha Kratom tentu masih berpegang pada Permenkes 44 Tahun 2019,” ujarnya.
Apalagi setelah Kemenkes tidak melarang kratom, Kementeritan Pertanian (Kementan) juga menjadikan tanaman yang banyak ditemukan dan dibudidayakan di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalbar ini sebagai tanaman bahan baku obat.
Kementan memasukkan kratom sebagai bahan baku pembuatan jamu, namun keputusan tersebut ditarik kembali lantaran protes beberapa elemen masyarakat.
“Protes tersebut bukan terhadap kratom, melainkan ganja yang juga masuk daftar keputusan Kementan itu. Jadi penarikan keputusan Mentan itu bukan karena kratom,” jelas Yoga.
Berdasarkan peraturan atau keputusan dua Kementerian tersebut, lanjut Yoga, para pembudidaya kratom tetap menjalankan usahanya. “Kita tetap melakukan usaha ini sepanjang tidak menyalahi peraturan yang ditetapkan pemerintah,” ujarnya.
Ia menambahkan, terkait kratom ini bukan hanya dalam lingkup kerja BNN, tetapi juga kementerian lainnya, seperti kesehatan, pertanian, lingkungan hidup dan lainnya.
Masing-masing tentunya memiliki alasan yang berbeda terhadap status kratom ini. Namun Yoga sangat menyayangkan alasan BNN melarangnya karena sifat analgesik tanaman hutan yang kini banyak dibudidayakan masyarakat tersebut.
“Misalnya BNN menyebutkan kalau kratom 13 kali lipat dari morfin terkait analgesiknya atau dalam menghilangkan nyeri. Ini harus dijelaskan secara detail, karena morfin itu kimiawi sementara kratom alami,” papar Yoga.
Kalau memang sifat analgesik kratom lebih baik ketimbang morfin, tentunya ini karunia dari Tuhan. “Indonesia tidak perlu lagi mengimpor morfin misalnya untuk bius operasi, karena kratom banyak tersedia di Indonesia,” ucap Yoga.
Para ahli kimia atau farmasi di Indonesia, menurut Yoga, harus melihat peluang pengembangan kratom untuk kepentingan dunia kesehatan ini.
“Kita bisa memproduksi obat analgesik, tidak perlu mengimpor lagi. Pengusaha kratom pun tidak perlu lagi ekspor kratom dalam bentuk mentah kalau di dalam negeri memproduksinya dalam bentuk barang jadi,” jelas Yoga
Olehkarenanya, Yoga menilai, perlunya pihak-pihak terkait kratom ini duduk satu meja untuk membuat aturannya, seperti BNN, Kemenkes, Kementan, Kemen LH, Eksekutif, Legislatif, pembudidaya dan pengusaha kratom. Bukan malah melarang tanaman khas ini.
Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Data dan Informasi (Puslitdatin) BNN, Agus Irianto, saat webinar belum lama ini kembali menegaskan larangannya terhadap kratom.
“Di Indonesia sudah ditemukan 76 jenis NPS (new psychoactive substances), di mana ada beberapa yang masih dalam proses pembicaraan to be regulated dengan Kementerian Kesehatan, salah satunya adalah kratom,” kata Agus seperti dikutip berbagai media massa nasional.
Agus menjelaskan, kratom masuk spesies atau satu keluarga dengan kopi, tetapi unsur mitracylin yang membuat berbahaya. “Punya efek ada stimulusnya, depresennya, seperti itu yang dari kacamata laboratorium. Efeknya, 13 kali lebih dahsyat daripada morfin,” tuturnya.
Namun di Kalbar, tanaman ini dijadikan obat herbal dan dijual di web resmi karena belum ada aturan yang melarang penjualan kratom.
“Kratom ini sebenarnya tanaman di indigenous area yang tingginya 14-16 meter. Pemprov Kalbar melegalkan untuk dijual sebagai produk herbal dan malah dijadikan salah satu unggulan untuk menambah PAD (Pendapatan Asli Daerah),” beber Agus.
Ia pun menceritakan pengalamannya, saat mendampingi kepala BNN kunjungan ke Amerika. Saat itu, Dubes masih Mahendra Siregar.
Mahendra menerima kunjungan dari Asosiasi Kratom Amerika yang minta dukungan untuk mengimpor kratom dari Indonesia 250.000 ton per tahun.
“Itu tinggal ambil saja dari hutan ya, sekarang dibudidayakan. Sekarang masih bebas diperjualbelikan dan kita belum bisa apa-apa tapi dalam skala besar kita hajar,” pungkas Agus.(dik)