SANGGAU. Kasus pemukulan seorang anak, YD, terhadap ayah kandungnya YG, yang terjadi di Kecamatan Bonti, berakhir damai. Meski berkas perkara kasus tersebut sudah dinyatakan lengkap dan akan diserahkan ke Penuntut Umum pada Senin (5/10/2020).
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sanggau, Tengku Firdaus, jalan damai diambil lantaran orangtua tersangka memafkan dan meminta perkara tersebut tak dilanjutkan.
“Ini merupakan implementasi dari perintah dan petunjuk Jaksa Agung dan Kejaksaan Tinggi Kalbar, terkait Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan restorative justice (keadilan restoratif). Ini baru saja dilaunching. Apa yang beliau sampaikan adalah tegakkan hukum yang berkeadilan berhati nurani,” kata Tengku Firdaus, Selasa (6/10/2020).
Dalam proses perdamaian itu, tersangka, kedua orangtua tersangka, saksi dan para pihak dihadirkan di kantor Kejaksaan Negeri Sanggau, Selasa (6/10/2020).
“Jadi memang dari awal, memang menjadi perhatian kita dimana pasal yang sangkakan oleh penyidik di Polsek Bonti itu terkait kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan seorang anak kepada orangtuanya (ayahnya). Pada saat penelitian berkas perkara, berkasnya sudah dinyatakan lengkap. Unsur delik yang disangkakan teman-teman penyidik berdasarkan undang-undang kekerasan dalam rumah tangga dan 351 sudah terpenuhi, dimana ada sejumlah alat bukti yang menguatkan,” ungkap Firdaus.
Dikatakannya, saat penelitian berkas perkara, tersangka dan barang bukti, si tersangka didampingi orangtuanya. Pada penyerahan berkas tahap dua, orangtua tersangka perkara tersebut tidak dilanjutkan.
“Kita berdasarkan peraturan jaksa agung ini diberikan ruang oleh Jaksa Agung. Penuntut umum diberikan ruang selama 14 hari untuk mediasi kepada pihak korban dan tersangka. Hari ini kita lakukan, kita hadirkan para pihak, korban dan tersangka hadir,” ujar Firdaus.
Setelah para pihak menandatangani perdamaian, pihak Kejari Sanggau akan meminta persetujuan dari Kejaksaan Tinggi Kalbar.
“Nanti Kajati akan memberikan petunjuk. Diterima atau ditolak perdamaian itu. Tapi kita berharap dengan iktikad baik hari ini, mudah-mudahan bisa disetujui,” kata dia.
Kepada awak media, Firdaus juga menyebut kriteria perkara yang bisa diterapkan restorative justice antara lain:Ancaman hukumannya di bawah lima tahun, pelaku baru pertama kali melakukan. Kemudian kalau diancam pidana denda tidak di atas Rp 2,5 juta.
“Ada juga beberapa ketentuan perkara-perkara kelalian, contohya 310 di undang-undang lakalantas dengan syarat korban dan tersangka melakukan perdamaian. Hubungan keluarga juga sangat menjadi pertimbangan. Karena pelaku berstatus pelajar saat kejadian, masih muda, baru pertama kali, dan di bawah pengaruh alkohol,” ungkapnya.
Hanya saja jika tersangka masih melakukan tindak pidana kembali, Firdaus memastikan hal itu akan menjadi pertimbangan untuk memperberat tuntutan hukuman.
“Kalau kemudian dia masih melakukan tindak pidana akan kami akumulasi nanti perbuatannya,” pungkas Firdaus. (ram)