KALIMANTAN TODAY, PONTIANAK – Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat menerbitkan Maklumat tentang Kepastian Usaha Pemenuhan Pangan oleh Peladang. Maklumat yang diterbitkan pada 19 Juli 2020 masing-masing ditandatangani Ketua, Sekretaris dan Direktur Eksekutif Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat tersebut sebagai respon atas ketidakpastian situasi usaha pemenuhan pangan oleh masyarakat di komunitas melalui praktik berladang. Terbitnya sejumlah regulasi hingga Maklumat Kapolda Kalimantan Barat seolah menguatkan bahwa praktik berladang yang dilakukan diantara tahapannya melalui cara bakar adalah salah dan terbitnya maklumat larangan sekaligus menjadi ‘teror’ bagi Peladang. Pada sisi lain, informasi mengenai adanya aturan yang memberi perlindungan bagi Peladang selama ini tidak turut disampaikan.
Tidak adanya penjelasan yang baik atas terbitnya maklumat ‘larangan membakar’ selama ini hingga sejumlah kasus hukum yang dialami peladang beberapa waktu terakhir menguatkan bahwa kecemasan yang dialami dan terjadi oleh masyarakat di komunitas kian beralasan. Namun demikian, usaha bertani untuk pemenuhan pangan dengan berkearifan lokal melalui praktik berladang sebetulnya telah dipayungi melalui aturan yang ada.
“Karenanya, kita berharap agar Peladang tidak khwatir dan tidak takut untuk berladang. Lakukanlah dengan berkearifan lokal,” pinta Adrianus Adam Tekot, Sekretaris Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat melalui rilis yang diterima redaksi Kalimantan Today, Jumat (24/07/2020).
Lebih lanjut, sosok yang juga sebagai Timanggong Binua Sunge Manur tersebut menilai bahwa berladang dengan berkearifan lokal sejak lama telah dilakukan Masyarakat Adat dan dilindungi Undang-undang, terlepas ada dan atau tidak adanya Pergub 103 tahun 2020. Karenanya, ia menghimbau kepada Peladang tidak perlu takut.
“Putusan Pengadilan Negeri Sintang pada 9 Maret 2020 lalu membuktikan bahwa membakar untuk ladang dengan berkearifan lokal bukan termasuk dalam kategori kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Sehingga berladang dengan berkearifan lokal adalah sah secara hukum dan dilindungi Undang-Undang. Jadi ada atau tidak adanya Pergub 103 tahun 2020, praktik berladang jelas dilindungi Undang-undang maupun peraturan lainnya,” pungkasnya.
Lebih lanjut, Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat dalam maklumatnya menegaskan bahwa hak atas pangan merupakan hal fundamental yang perlu terus diusahakan oleh segenap komponen bangsa, terutama oleh masyarakat di komunitas yang salah satunya melalui kegiatan berladang. Selain itu, berladang juga dinilai sebagai praktik bertani menanam padi sebagai tanaman utamanya dan dilakukan turun temurun dengan berkearifan lokal sebagaimana diwariskan sejak lama oleh leluhur Peladang.
Berladang juga bagian dari siklus kehidupan masyarakat di komunitas selama ini yang tidak terpisahkan dari hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) sebagaimana ditegaskan UU 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Demikian pula praktik berladang yang syarat dengan nilai-nilai sosial, budaya, spiritualitas, religi dan keberlanjutan harus dilakukan dengan merdeka tanpa kecemasan sehingga menghendaki agar negara melalui aparaturnya mutlak menunaikan kewajibannya dengan memastikan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi warganya sebagaimana Pasal 8 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Perlindungan terhadap aktivitas ekonomi tradisional dengan model pertanian bergilir ini juga diperkuat melalui Konvensi ILO 169.
Untuk memastikan usaha pemenuhan pangan melalui praktik berladang dengan berkearifan lokal diamanatkan Pasal 69 ayat (2) UU 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup dan Permen LHK 34 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup juga kini turut ditegaskan pada Pergub 103 Tahun 2020 tentang Pembukaan Areal Lahan Pertanian Berbasis Kearifan Lokal yang beberapa waktu lalu diterbitkan.
Yohanes Mijar Usman, Ketua Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat juga menegaskan bahwa penerbitan maklumat sejalan dengan semangat dari keinginan Presiden untuk terkendalinya Karhutla melalui terbitnya Intruksi Presiden 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Karhutla.
“Untuk mendukung terwujudnya situasi Kalimantan Barat kondusif yang aman dan tertib, agar masyarakat terutama Peladang yang selama ini terus berusaha memenuhi hak asasinya atas pangan kian produktif seturut tema Peringatan Hari Bhayangkara ke-74; ‘Kamtibmas Kondusif, Masyarakat semakin Produktif’, maka maklumat kami diterbitkan hendaknya menjadi perhatian kita bersama dan semua pihak,” terang Mijar.
Adapun sejumlah poin pada maklumat yang diterbitkan Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat di antaranya; pertama, agar usaha berladang oleh masyarakat di komunitas dapat terus dilakukan dengan merdeka melalui adanya jaminan rasa aman tanpa dihantui kecemasan dan tindakan refresif sebagaimana dijamin dan ditegaskan Pasal 30 UU 39 Tahun 1999 bahwa “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”.
Kedua, agar usaha berladang terus dilakukan dengan berkearifan lokal sebagaimana amanat konstitusi Pasal 69 ayat (2) UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup yang sesungguhnya sejalan pula dengan praktik bijak warisan leluhur Peladang selama ini.
Ketiga, agar negara melalui aparaturnya memberikan apresiasi dan penghormatan terhadap keberadaan masyarakat di komunitas dengan kearifan lokalnya, merangkul dan memastikan perlindungan terhadap Peladang dan hak-hak dalam mengusahakan pemenuhan pangannya, serta meminta adanya keterbukaan penanganan dan ketegasan penegakan hukum terhadap sejumlah perusahaan yang terlibat karhutla di Kalimantan Barat agar kepercayaan publik terhadap Pemerintah maupun aparatur penegak hukum terutama dalam menangani kasus karhutla selama ini bisa lebih baik dan petani khususnya Peladang tidak terus menjadi korban kriminalisasi dan tidak selalu dituduh sebagai pelaku kejahatan karhutla.
Serta yang terakhir yakni keempat, agar segala hal yang menjadi permasalahan kemudian terkait usaha berladang oleh masyarakat di komunitas lebih mengutamakan penyelesaian secara internal sesuai kearifan lokal yang dikoordinasikan pemangku adat dan atau sebutan lainnya bersama Masyarakat Adat/lokal di komunitas. (*)