KALIMANTAN TODAY, PONTIANAK–Di tengah semakin parahnya pandemi global Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) malah menaikkan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
“Kalau dilihat dari aspek kemanusiaan, kayaknya sangat tidak manusiawi,” kata Sy Amin Muhammad Assegaf, Legislator Kalbar dari Partai NasDem, ditemui di DPRD Provinsi Kalbar, Selasa (19/05/2020).
Presiden Jokowi menaikkan iuran JKN tersebut melalui Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 (Perpres 64/2020) tentang Perubahan Kedua atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. Ditandatanganinya pada Selasa (05/05/2020).
Dalam Pasal 34 Perpres 64/2020 itu disebutkan tentang kenaikan iuran bagi peserta mandiri segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP).
Berikut rinciannya:
– Iuran peserta mandiri Kelas I dari Rp80.000 naik menjadi Rp150.000
– Iuran peserta mandiri Kelas II dari Rp51.000 naik menjadi Rp100.000
– Iuran peserta mandiri Kelas III dari Rp25.500 naik menjadi Rp42.000.
Untuk iuran Kelas III, pemerintah mensubsidi Rp16.500. Sehingga peserta BPJS Kesehatan tetap membayar Rp25.500.
Namun pada 2021, subsidi dari pemerintah tersebut dikurangi menjadi Rp7.000. Sehingga peserta BPJS Kesehatan harus membayar Rp35.000 setiap bulan.
Kebijakan Pusat tersebut sangat disayangkan Sy Amin Muhammad yang kini duduk di kursi Wakil Ketua DPRD Provinsi Kalbar.
Padahal sebelumnya kenaikan tersebut sudah dibatalkan Mahkamah Agung (MA). “Kenapa keliatannya ngotot benar menaikkan iuran BPJS Kesehatan ini,” sesal Amin.
Menurut Amin, dalam kondisi seperti sekarang yang boleh diistilahkan sebagai kiamat kecil karena pandemi global Covid-19, kebijakan tersebut mengusik rasa kemanusiaan.
“Saya sangat tidak setuju iuran BPJS Kesehatan itu dinaikkan. Apalagi kalau melihat betapa fantastisnya gaji direksinya, mencapai ratusan juta per bulan,” ucap Amin.
Kalau memang jaminan kesehatan ini betul-betul bersifat kemasyarakatan atau kerakyatan, sebaiknya dikembalikan saja ke daerah seperti dulu, ketimbang harus membebani masyarakat dengan iuran seperti sekarang.
“Kembalikan saja ke APBD Provinsi atau Kabupaten/Kota. Menteri Kesehatan tinggal menyurati Gubernur, Bupati/Walikota agar membuat anggaran jaminan kesehatan untuk masyarakat yang tidak mampu. Pusat tinggal membuat payung hukum untuk mengontrolnya,” pungkas Amin.(dik)