KALIMANTAN TODAY, PONTIANAK–Sikap Pimpinan PT Haleyora Powerindo dan PLN yang tidak memenuhi undangan DPRD Provinsi Kalbar untuk menyelesaikan masalah pemenuhan hak pekerja outsourcing berupa pesangon, dianggap sebagai Contempt of Parlement atau pelecehan terhadap parlemen.
“Kita sangat menyayangkan atas ketidakhadiran pihak PT Haleyora Powerindo dan PLN Wilayah V Kalbar, ini sama saja contempt of parlement,” kata Tony Kurniadi, Wakil Ketua Komisi V DPRD Provinsi Kalbar, ditemui usai memimpin pertemuan dengan Serikat Pekerja Outsourching Khatulistiwa, Kamis (05/03/2020).
Pertemuan yang merupakan tindaklanjut dari kesepakatan sebelumnya terkait pemenuhan hak pekerja outsourching PT Haleyora Powerindo ini, hanya dihadiri Serikat Pekerja Serikat Pekerja Outsourching Khatulistiwa serta Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kalbar.
Komisi V DPRD Provinsi Kalbar juga mengundang PT Haleyora Powerindo dan PLN Wilayah V Kalbar dalam pertemuan lanjutan ini. Namun, jangankan pimpinan tertinggi dari induk dan anak perusahaan kelistrikan tersebut, seorang perwakilannya pun tidak muncul.
Menurut Tony, kalaupun pimpinan utama mereka ada kesibukan, tentunya bisa didelegasikan ke jajaran lainnya yang dapat menjadi refresentatif perusahaan tersebut. “Kan ada mekanisme pendelegasian,” ujarnya.
Pengabaian ini, lanjut Tony, selain sebagai contempt of parlement juga menunjukkan tidak ada niat baik PT Haleyora Powerindo dan PLN untuk menyelesaikan persoalan pekerja outsourcing yang menuntut keadilan ini dengan sebaik-baiknya.
“Apalagi dari pertemuan tadi, terungkap adanya intimidasi terhadap pekerja outsoucing ini, berupa keharusan menandatangani surat yang sama sekali tidak memenuhi rasa keadilan bagi pekerja,” sesal Tony.
Legislator PAN ini menilai, gara-gara PT Haleyora Powerindo mangkir dari kesepakatan untuk membayar 50 persen pesangon pekerja outsourcing, kini persoalannya semakin meluas.
Sebagai garda terdepan dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat, Tony memastikan, DPRD Provinsi Kalbar berupaya keras sampai para pekerja outsourcing ini mendapatkan hak-haknya. “Kita harapkan, penuhilah hak mereka ini,” pintanya.
Tony juga berharap, Gubernur Kalbar sebagai Perwakilan Pemerintah Pusat (Pempus) di Daerah, tidak tinggal diam atas persoalan ini. Karena banyak pekerja outsourcing yang notabene warga Kalbar, menderita akibat ulah PT Haleyora Powerindo.
“Kita minta Kepala Daerah mengambil tindakan tegas dalam hal ini. Karena bagaimana pun juga para pekerja ini juga pemilih Gubernur dan Wakil Gubernur Terpilih, Midji-Norsan. Suara mereka ini jangan diabaikan,” kata Tony.
Tindakan tegas yang dimaksudkan Tony itu, bisa saja berupa pengajuan pemecatan Pimpinan PT Haleyora Powerindo dan GM PLN Wilayah V Kalbar ke Pempus. “Karena mereka tidak bisa menyelesaikan persoalan ini, sampai berlarut-larut seperti sekarang,” jelanya.
Pengajuan pemecatan itu, tambah dia, mungkin bisa membuat performa perusahaan ini lebih bagus ke depannya. “Namun kami di Dewan tetap berharap para pemangku kepentingan, baik itu PT Haleyora Powerindo dan perusahaan yang menggantikannya, maupun PLN terketuk hatinya untuk memenuhi rasa keadilan terhadap para pekerja outsourcing ini,” papar Tony.
Di tempat yang sama, Ketua Serikat Pekerja Outsourcing Khatulistiwa, Agus Chanigia mengungkapkan, pada pertemuan lanjutan ini dihadiri perwakilan pekerja outsourcing dari beberapa kabupaten/kota di Kalbar.
“Tetapi tidak ada seorang pun yang datang dari pihak perusahaan yang hadir, baik dari PLN selaku pemberi kerja maupun PT Haleyora Powerindo sepalu vendor. Kami sangat kecewa,” kata Agus.
Saking kecewanya, Agus yang mewakili ratusan pekerja outsourcing sampai mengungkapkan kata yang tidak pantas kepada PT Haleyora Powerindo dan PLN. “Padahal yang mengundang ini DPRD Provinsi Kalbar. Seharusnya mereka hadir, apalagi ini menyangkut banyak nyawa,” ujarnya.
Kalau Serikat Pekerja yang mengundang lalu mereka tidak hadir, tambah Agus, mungkin masih bisa dianggap wajar. Tetapi ini Anggota Dewan yang terhormat yang mengundang.
Agus juga mengesalkan tindakan semacam intimidasi terhadap pekerja outsourcing di tengah proses mediasi cukup panjang yang dilakukan DPRD Provinsi Kalbar.
“Para pekerja outsurcing malah disuruh menandatangani surat, kalau tidak mau, dianggap enggan bergabung kembali, akan dipecat atau PHK,” ungkap Agus.
Ia pun menegaskan, semua pekerja outsourcing ini tetap ingin bergabung kembali seperti sebelumnya. “Kontrak yang sudah putus dibayarkan pesangonnya, kemudian kontrak lagi, dengan masa kerja dihitung dari awal. Kemarin-kemarin seperti itu,” papar Agus.
Tetapi kondisi sekarang kan berbeda, kata Agus, kontrak sudah putus tetapi hak pekerja tidak dipenuhi. “Nampaknya sengkuni-sengkuni di perusahaan pemberi kerja dan vendor ini bersekongkol,” kesalnya.
Sementara itu, Kuasa Hukum Pekerja Outsourcing PT Haleyora Powerindo, Ismail berharap Komisi V DPRD Provinsi Kalbar mengambil sikap atau tindakan tegas, karena perusahaan-perusahaan ini telah melakukan contempt of parlement.
“Kita mengharapkan DPRD Provinsi Kalbar segera membentuk Pansus (Panitia Khusus), karena banyak sekali pelanggaran dalam masalah yang merugikan para pekerja outsourching ini,” kata Ismail.
Di antara pelanggaran tersebut, ungkap Ismail, adany surat yang harus ditandatangani pekerja outsourcing yang isinya lebih pada intimidasi.
“Disebutkan apabila surat itu tidak ditandatangani sampai 28 Februari 2020 pukul 16.00 WIB, maka para pekerja outsourcing dianggap mengundurkan diri, dirumahkan dan seterusnya. Padahal sudah dijadwalkan pertemuan mediasi di DPRD Provins Kalbar pada 5 Maret 2020 hari ini,” papar Ismail.
Ia menilai, oknum PT PLN yang membuat surat itu tidak mempunyai kapasitas semestinya. “Karena PLN tidak mempunyai kewenangan penuh untuk mengintervensi persoalan antara pekerja outsourcing dengan PT Haleyora Powerindo ini,” jelas Ismail.
Proses penyelesaian masalah pesangon ini, lanjut dia, sudah sampai ke tingkat mediasi di DPRD Provinsi Kalbar. Semestinya surat itu tidak dikeluarkan. “Makanya kami menduga ini intimidasi yang dilakukan oknum pegawai PLN terhadap pekerja,” ujar Ismail.
Adapun dugaan pelanggaran lainnya, kata Ismail, tidak menutup kemungkinan adanya pencucian uang (money loundring) karena penunjukan langsung yang menyalahi Keppres 80/2003.(dik)