KALIMANTAN TODAY, PONTIANAK – Perawakannya cenderung kecil. Penampilannya seperti orang kebanyakan. Tetapi siapa sangka Muhammad Zakaria atau karib disapa Jack merupakan eksportir. Warga Gg Wanara Sakti Kabupaten Kubu Raya ini mempunyai omzet miliaran rupiah.
Saya dikenalkan orang dengan buyer dari Amerika itu. Sampai sekarang masih menjadi pelanggan saya
“Pada 2011 saya menjadi cleaning service di salah satu dealer di Kubu Raya,” kata Jack memulai ceritanya ketika ditemui wartawan di kediamannya, Senin (18/11/2019).
Penghasilan menjadi cleaning service tentunya tidak berbanding lurus dengan kebutuhannya dan keluarga sehari-hari. Jack pun mencoba banting setir menjadi marketing truk dan alat berat.
Pada 2013, pria kelahiran 38 tahun silam ini pun nekat membuat perusahaan untuk angkutan alat berat domestik. Tetapi baru berjalan dua tahun sudah kolap.
Di tengah keterpurukan di titik paling nadirnya itu, Jack berkenalan dengan salah seorang petani Kratom (Mitragyna speciosa) atau lebih dikenal masyarakat Kalbar dengan daun Purik, hasil hutan nonkayu.
Petani yang sudah mulai membudidayakan Kratom itu mengadukan kesulitannya untuk mencari pembeli tanaman yang sejak lama dikenal sebagai obat herbal tersebut.
Jack yang boleh disebut pengangguran kala itu pun mengupayakan mencarikan pelanggan untuk petani yang menjadi temannya itu. Tentu bukan perkara mudah.
Setelah menempuh berbagai cara, akhirnya Jack berhasil menemukan pelanggan asal Kolombia. “Cerita awal saya mendapat pelanggan ini cukup lucu,” ucap Jack sembari tertawa.
Melalui selular, warga Kolombia itu menggunakan Bahasa Inggris yang artinya kurang lebih diawali dengan menanyakan apakah Jack merupakan pemilik Kratom.
Biaya pengirimannya untuk 4 buyer saya di Amerika sekitar Rp39,7 Miliar sejak Januari hingga November 2019
“Cukup panjang dia berbicara. Kemudian saya jawab saja ‘Apa yang kau omongkan ni, aku tak ngerti’ (Bahasa Melayu Pontianak-red),” cerita Jack.
Jack yang tidak bisa berbahasa Inggris ternyata dengan kenekatannya berhasil meyakinkan warga Kolombia–yang tidak bisa berbahasa Indonesia apalagi Melayu Pontianak itu–untuk membeli Kratom yang dibudidayakan temannya.
Namun perjalanan berikut tidak sesuai dengan yang diharapkan. Begitu Kratom dikirim sesuai alamat dimaksud warga Kolombia itu, ternyata tidak dibayar.
“Saya ditipu, warga Kolombia itu tidak membayar harga Kratom milik petani teman saya itu senilai Rp26 Juta. Tidak dibayar sama sekali,” kenang Jack.
Sebenarnya petani Kratom itu tidak meminta Jack untuk bertanggungjawab atas penipuan yang lakukan warga Kolombia itu. “Tetapi saya merasa mempunyai tanggungjawab moral untuk kerugian petani tersebut,” katanya.
Sehingga Jack terus berupaya mencari pembeli (buyer) Kratom diluar negeri. Tanpa modal sedikit pun. “Bahkan laptop yang saya gunakan untuk mencari buyer itu terpaksa meminjam,” ujarnya.
Hingga akhirnya Jack berhasil menemukan buyer dari Amerika Serikat. “Saya dikenalkan orang dengan buyer dari Amerika itu. Sampai sekarang masih menjadi pelanggan saya,” katanya.
Pelanggannya itu membutuhkan Kratom untuk berbagai keperluan di bidang kesehatan. Di antaranya untuk mengatasi para pecandu narkotika. “Harga Kratom lebih murah dibanding menggunakan obat dari perusahaan farmasi untuk mengatasi ketergantungan narkotika di sana,” jelas Jack.
Lanjut cerita, setelah enam bulan menjual Kratom kepada pelanggannya di Negeri Paman Sam itu, Jack pun berhasil mengganti kerugian petani akibat ditipu pembeli dari Kolombia.
“Awalnya saya menjual ke pelanggan saya itu hanya 250 kilogram Kratom. Tetapi sekarang sudah mencapai 50 ton per bulan,” ungkap Jack.
Permintaan Kratom di Amerika semakin tinggi, lantaran terbukti sanggup mengurangi ketergantungan narkotika lebih baik dibandingkan dengan obat-obatan farmasi yang harganya jauh lebih mahal.
“Bayangkan saja bila obat dari perusahaan farmasi di sana itu kalau US$D100 itu hanya untuk satu hari. Sedangkan kalau Kratom, dengan nilai yang sama bisa untuk satu bulan,” kata Jack.
Kini Jack sudah dikenal sebagai eksportir Kratom. Ia sudah mempunyai ruang produksi sendiri. “Karyawan saya 40 orang terdiri atas 22 perempuan, selebihnya pria,” ujarnya.
Setiap karyawannya yang merupakan warga di sekitar kediamannya itu bekerja sejak pukul 08.00 hingga 16.00 WIB dan digaji per hari Rp100 Ribu. “Alhamdulillah mereka kini mempunyai penghasilan tetap,” ucap Jack.
Selain karyawan di ruang produksinya itu, Jack juga mempunyai petani binaan untuk memasok Kratom-nya, guna memenuhi permintaan pelanggannya di Amerika. “Untuk komunikasi dengan buyer, termasuk untuk pembayaran, sekarang saya pakai translater (penerjemah)” katanya.
Jack mengatakan, tidak sulit menjadi petani Kratom, karena tanpa irigasi dan dilarang menggunakan pupuk. Selain itu, dalam waktu tiga bulan sudah bisa menghasilkan.
Cukup banyak masyarakat yang merasa terbantu dengan menjadi petani Kratom di tengah anjloknya harga komoditas lainnya di Kalbar seperti sawit dan karet.
“Kalau dari petani yang saya bina sejak awal mulai dari menyediakan bibit hingga mengawasi perawatannya, saya membeli Kratomnya seharga Rp30 Ribu per Kilogram. Sedangkan kalau membeli bukan dari petani binaan, Rp25 Ribu per Kilogram,” ungkap Jack.
Selain dari Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalbar, Jack juga memasok Kratom dari Kaltim. “Kita membutuhkan banyak Kratom, karena permintaannya di luar negeri semakin tinggi, bukan hanya di Amerika, tetapi juga di Eropa,” ungkapnya.
Ia membeli Kratom dari petani dalam bentuk remahan. Dimasukkan ke ruang produksi yang tertutup dengan suhu yang terjaga di bawah 35 derajat celcius. “Untuk monitoring suhu ruangan, kita menggunakan thermometer,” kata Jack.
Di ruang produksi itulah, Kratom dalam bentuk remahan dari petani itu digiling, dianyak dan disterilkan dengan sinar Ultaviolet (UV). Semuanya menggunakan mesin canggih.
“Kemudian kita packing menggunakan mesin, untuk diekspor ke Amerika. Semua prosesnya, sejak dari petani selalu kita perhatikan, terutama kehigienisannya, karena pembeli kita sangat memperhatikan kualitas Kratom yang kita jual,” papar Jack.
Untuk mengirimnya ke Amerika, Jack menggunakan Air Cargo. “Biaya pengirimannya untuk 4 buyer saya di Amerika sekitar Rp39,7 Miliar sejak Januari hingga November 2019,” rincinya.
Rata-rata per bulan 25 ton Kratom yang dikirimnya menggunakan Air Cargo. “Saya juga menggunakan kontainer yang memuat sekitar 26 ton Kratom. Sekitar 125 ton per bulan,” ungkap Jack.
Tanpa ragu, Jack mengungkapkan, sejak Januari 2019 hingga sekarang, total transaksi Kratomnya ke Amerika mencapai U$D 3.411.980. “Laba bersihnya sekitar U$D 2 Juta per tahun,” akunya.
Jack hanya salah seorang warga Kalbar yang merasa sangat terbantu karena tingginya kebutuhan Kratom di luar negeri. Cukup banyak petani yang merasakan hal serupa.
BACA: Pembahasan Alat Kelengkapan Dewan Kalbar Deadlock, Overlap Kepentingan?
Namun di tengah semakin melejitnya Kratom ini, muncul klaim Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menyebutnya sebagai narkotika golongan satu.
Jack cukup menyayangkan hal tersebut. Karena sempat memunculkan kebimbangan para pegiat Kratom. Sehingga ia bersama rekan-rekannya berusaha kembali meyakinkan bahwa ada Permenkes 44/2019 yang bertolak belakang dengan klaim BNN.
BACA: Ekspor Kratom Bisa Dongkrak Devisa Negara
Ia pun berharap pemerintah membuat semacam produk hukum untuk mengatur Kratom ini. Tentunya dengan melibatkan berbagai pihak terkait. “Misalnya dibuatkan Perda atau Pergub,” kata Jack.
Produk hukum itu tentunya dilahirkan melalui kajian yang mendalam dan komprehensif tentang Kratom ini, dengan melibatkan pihak-pihak berkompeten.
Berbagai negara di belahan dunia, terutama Amerika dan Eropa tidak melarang Kratom ini. Bahkan mereka sangat membutuhkannya. Hal ini tentunya sangat potensial untuk menambah devisa negara atau minimal Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Apalagi, tambah Jack, sampai saat ini masyarakat sudah merasa sangat terbantu dengan berkecimpung sebagai pembudidaya, pengepul Kratom ini atau lainnya. Semestinya hasil hutan nonkayu ini menjadi primadona, terutama di Kalbar.(dik)