Oleh Maysramo
Akhirnya Drs.Cornelis,MH muncul juga setelah menghilang berbulan-bulan.
“Saya tetap ada kok,” ujarnya singkat diantara saudara-saudara sesuku yang berdesakan untuk menyalaminya di sabtu pagi itu. Pagi yang basah sisa hujan semalam menjadi saksi masyarakat Dayak se Indonesia berkumpul di bilangan Jembatan Besi, Jakarta Barat, untuk mendeklarasikan dukungannya kepada Jokowi sebagai calon presiden periode 2019-2024. Sebuah dukungan yang sama diberikan pada Jokowi sebagai calon presiden pada 2014 lalu tentu dengan suasana kebatinan yang jauh berbeda.
Berbeda Jokowi 2014 hanyalah seorang Gubernur DKI Jakarta yang maju sebagai capres. Beda Jokowi 2014 bukan calon yang diunggulkan. Beda Jokowi 2014 tak ubahnya mahluk astral entah dari dunia mana yang membuat langkah besar hanya dengan catatan prestasi semasa di solo dulu.
Pun dengan Dayak 2014 kekuatannya menyatu, solid dan bikin jeri pihak manapun. Dayak 2014, khususnya kalbar, siap menghalau siapa pun lawan yang coba menghancurkan kekuatannya. Dayak 2014 tak mudah tergiur oleh imung-iming harta dan tahta yang ditawarkan lawan-lawannya. Dayak adalah Dayak dan bangga menjadi Dayak.
Kini 2019 suasana jauh berbeda, Jokowi telah menjadi presiden dengan segala pencapaiannya. Ditangannya, infrastruktur jalan tak ubahnya ular raksasa yang terbangun dari tidur panjangnya. Sampai-sampai muncul lelucon “Google Maps pun kalah cepat dengan proyek pembangunan jalannya Jokowi”.
Belum bicara dana desa, meski coba didegradasi bahwa itu bukan zaman Jokowi, namun sejarah mencatat meski Program Dana Desa sudah ada sejak presiden sebelum Jokowi, selama 10 tahun berkuasa program itu tidak dilaksanakan dan baru dikepemimpinan Jokowi sebagai presiden program itu dilaksanakan dengan kucuran dana yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Begitu juga dengan keberanian Dayak mengusung Jokowi pada 2014 telah membawa percepatan yang sangat luar biasa untuk Kalimantan secara umum dan Kalbar khususnya. Dayak yang mengusung seluruh rakyat Kalimantan yang menikmatinya. Dayak bukan suku yang bermain di wilayah abu-abu, Dayak akan berdiri dibarisan paling depan bila itu diyakininya meski kerap dituding sebagai suku yang ketinggalan zaman, terbelakang dan hidup dalam hutan. Hasilnya Tidak hanya infrastruktur, tapi juga listrik dan dana desa dinikmati semua rakyat Kalimantan, bukan hanya Dayak!
Namun Dayak Kalbar 2019, bukan lagi Dayak Kalbar 2014. Sepuluh tahun memimpin Kalbar, kekuatannya apakah sesolid dulu, saat gairah untuk berkuasa mulai meraja di sanubari hingga menjual kesukuannya. Ego dan merasa punya pamor lalu menarik garis berbeda memberi dukungan pada calon yang berbeda penuh bangga, demi kekuasaan semata tanpa mau perduli kesatuan sukunya yang dulu ditakuti kini hanya menjadi bahan tertawaan.
Pada titik itulah, bisa dipahami menghilangnya Cornelis. Bagaimana dirinya hanya bisa melihat begitu cepatnya rakyat Dayak mengalami perubahan dalam kurun 10 tahun kepemimpinannya, perubahan yang tak bisa dihindari saudara-saudaranya, namun harus punya kekuataan mumpuni dalam menghadapi.
Cornelis memilih kembali kelingkungannya bertemu dan bercengkrama serta tertawa bersama saudara-saudaranya membangun tali persaudaraan.
Penutup, penulis mengutip pantun Thomas, warga asal Kecamatan Badau Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, dihadapan Jokowi.
“Solo ke Jakarta, hingga menembus Pulau Kalimantan. Terima kasih kepada bapak Joko Widodo. Bapak adalah presiden pelita perbatasan”. (***)