PERTAMA DAN PALING UTAMA, anda tidak akan pernah mendengar tentang Sutarmidji Sindrom. Namun percayalah, ada orang yang mengalami sindrom ini. Yup, anda benar. Orang ini bernama Sutarmidji yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Barat.
Hal itu dikarenakan, sejak dilantik sebagai gubernur 5 September 2018, Sutarmidji selalu menyalahkan pemimpin sebelumnya. Berdasarkan jejak digital media, sejak dilantik, Sutarmidji terus membangun opini negatif terkait tata kelola keuangan pemerintah provinsi yang sejatinya setiap tahun sudah dilaporkan penggunaannya kepada pihak legislatif (DPRD Provinsi Kalimantan Barat). Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) mengganjarnya dengan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), bukan hanya sekali tapi 6 kali berturut-turut. Pertanyaannya, mampukah Sutarmidji menyamai prestasi tersebut?
Waktu 65 hari memang terlalu singkat untuk mengukur kinerja Sutarmidji dalam memimpin Kalbar, namun setidaknya mampu menjadi diri sendiri dan lepas dari bayang-bayang gubernur sebelumnya. Dengan membuktikan, Sutarmidji mampu memimpin dan membangun Kalbar jauh lebih baik lagi.
Hanya saja, hal itu tidak dilakukannya. 65 hari justru dilalui Sutarmidji untuk meminta pengakuan dari rakyat Kalbar bahwa dirinya lebih mampu memimpin dari gubernur sebelumnya.
Tengok saja saat peluncuran program satu data, Senin (3/12) lalu, Sutarmidji lagi-lagi menyalahkan pemimpin yang sebelumnya bahwa Kalbar tak mempunyai data yang jelas dan akurat, sehingga apapun kebijakan yang diambil tidak pernah tepat.
Dari pernyataannya itu, tentu melahirkan pertanyaan balik kepada Sutarmidji. “Kebijakan yang mana yang tidak pernah tepat?” Atau “Data Kalbar mana yang tidak tepat dan akurat yang dimaksud”.
Apakah yang dimaksud Sutarmidji itu, terkait kebijakannya menutup jalur PDAM ke rumah Sekretaris Daerah Pemprov Kalbar dan mengatakan akan mengundurkan diri sebagai Walikota Pontianak bila dirinya salah?
Bila data tidak akurat dan kebijakan yang diambil tidak tepat, mengapa BPK memberikan status WTP terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.
Atau bila yang dimaksud adalah kebijakan yang tidak pernah tepat, apakah terkait keberhasilan melobi pemerintah pusat untuk membangun wilayah perbatasan menjadi lebih indah dan mulus hingga bikin baper negara tetangga? Keberhasilan meningkatkan status jalan provinsi menjadi jalan nasional? Keberhasilan memperbaiki akses jalan antar Kabupaten dan Kota menjadi lebih baik? Keberhasilan meningkatkan taraf kehidupan rakyat Kalbar menjadi lebih baik? Belum lagi kebijakan membuat Kalbar aman dan nyaman untuk ditinggali tanpa ada konflik sosial berdarah?
Harap dicatat, Program Satu Data yang dibanggakan Sutarmidji merupakan program yang diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo dan program ini terbilang baru.
Program ‘Satu Data’ dari KKP yang diluncurkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti (30 Mei 2016), merupakan arahan Presiden Jokowi untuk menjadikan KKP sebagai percontohan.(sumber: https://kkp.go.id/setjen/satudata/artikel/5377-keterbukaan-informasi-dan-program-satu-data-kkp).
Satu Data adalah program untuk mendorong pengambilan kebijakan berdasarkan data. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka diperlukan pemenuhan atas data pemerintah yang akurat, terbuka, dan interoprable.
Satu Data memiliki tiga prinsip utama yaitu, satu standar data, satu metadata baku, dan satu portal data. Dengan demikian, pemanfaatan data pemerintah tidak hanya terbatas pada penggunaan secara internal antar instansi, tetapi juga sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan data publik bagi masyarakat.
Bila Gubernur Sutarmidji menerapkannya, patut diberikan apresiasi yang tinggi karena memang begitulah semangat zaman yakni keterbukaan dan meminimalisir kesimpangsiuran data. Bahkan akan menjadi aneh bila Sutarmidji tidak menerapkan program ini.
Namun bukan berarti program pemerintah pusat dijadikan oleh Sutarmidji sebagai senjata dengan mengatakan “Apapun kebijakan yang diambil tidak pernah tepat”. Tentu saja pernyataan ini tidak mendasar dan salah besar.
Harusnya, Sutarmidji tinggal meneruskan kebijakan yang sudah baik dan memperbaiki atau menghapus kebijakan yang tidak baik, termasuk membuktikan ekonomi tumbuh dan penyediaan lapangan kerja dan membenahi birokrasi.
Itu cara pencitraan yang baik, bukan hanya bisa menyalahkan pemimpin sebelumnya.
KalimantanToday.com – Kamis, 6 Desember 2018