“PRESIDEN INDONESIA pada gila semua. Soekarno, presiden gila wanita. Soeharto, presiden gila harta. Habibie, presiden yang benar-benar gila ilmu dan teknologi. Nah, saya sendiri presiden yang benar-benar gila yang dipilih oleh orang-orang gila.”
Begitulah candaan yang dilepaskan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur saat bertemu dengan Presiden Kuba, Fidel Castro, dalam kunjungan kenegaraan. Humor yang dilepaskan Gus Dur tahun 2000 lalu, 18 tahun kemudian kembali menjadi bahan pembicaraan yang hangat terkait Pilpres 2019, yakni Orang Gila Boleh Nyoblos.
Gus Dur tentu tidak ingin mengatakan Gila dalam perspektif kejiwaan, yakni ganguuan kejiwaan yang sangat parah. Namun lebih kepada perilaku yang melebihi batas normal atau obsesi berlebihan pada dirinya.
Para ahli kejiwaan mengganti “gila’ dengan sebutan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), sesuai dengan amanat Undang-Undang Kesehatan Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa.
Penghapusan kata “gila dan orang gila” untuk menghilangkan stigma negatif yang selama ini hidup bahwa gila adalah orang-orang yang berkeliaran di jalan, bicara dan tertawa sendirian, tidak terawat, kumal bahkan ada yang telanjang.
Bahkan sebutan gila begitu mudah diucapkan untuk memaki atau merendahkan seaeorang, “Dasar orang gila”. Stigma inilah yang ingin dihapuskan, sehingga penderita gangguan kejiwaan tidak lagi mendapat bullyan dan berakhir dalam pasungan.
Bagaimana di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan pada usia 15 tahun mencapai 14 juta orang.
Angka ini setara dengan 6 persen jumlah penduduk Indonesia. Sementara itu, prevalensi gangguan jiwa berat seperti skizofrenia mencapai 400 ribu.
Hanya saja upaya penghapusan stigma orang gila belum sepenuhnya berjalan, apalagi saat Pilpres 2019 dimanfaatkan sekelompok orang secara terang-terangan menyebut “Orang Gila Boleh Nyoblos” dan menggorengnya di media sosial.
Penggunaan kata “Orang Gila Boleh Nyoblos” sebagai upaya menggiring opini masyarakat bahwa orang gila yang telanjang, marah dan ngomong sendiri dan jalan tak tentu arah itulah yang akan mencoblos di tempat pemilihan suara nanti.
Padahal Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejak Pilpres 2014 memberikan hak suara kepada penderita gangguan jiwa. Bahkan, KPU juga memfasilitasi penyelenggaraan pemilu di tempat-tempat perawatan orang gila seperti rumah sakit jiwa (RSJ) dan panti-panti sosial.
Namun KPU membuat aturan tegas, hanya pasien yang sudah direkomendasi dokter yang boleh memilih.
Pasien seperti apa yang rekomendasikan? Pasien yang sudah bisa mandiri atau dengan kata lain ingatannya sudah pulih dan tidak sedang dalam kondisi terganggu mentalnya.
“Bisa-bisa ga ada yang nyoblos di pilpres 2019 nanti kalau patokannya hanya orang gila aja, gila kerja, gila judi, gila isteri orang, gila kuasa, gila batu cincin dan gila lainnya,” ujar seorang teman disebuah warung kopi.
KalimatanToday.com, 28 November 2018